Seorang penari balet yang handal, pembalap ulung, pemain sepak bola yang lihai, atau atlet bela diri yang sangat tangkas memiliki kecerdasan penguasaan spasial (keruangan) pada medannya masing-masing. Demikian juga dengan para pelaku berbagai macam profesi dan keterampilan lainnya yang memanfaatkan gerak tubuh atau pengendalian suatu alat di dalam suatu ruang berbatas.
Tetapi kali ini mari kita mengapresiasi perihal penguasaan ruang dari perspektif yang lain. Kali ini kita akan meniliknya dari sudut pandang Kota Jakarta.
***
Dengan segala kebaikan dan keburukannya, mungkin kita masih bisa mengatakan bahwa Jakarta adalah kota yang brutal, semrawut, dan berantakan. Bahkan secara jenaka orang mengatakan bahwa sekejam-kejam Ibu Tiri tidak akan lebih kejam daripada Ibu Kota. Dan secara pribadi penulis berani berteori bahwa untuk bisa hidup dengan cukup bahagia sebagai rakyat jelata di kota ini, terkadang orang harus mampu dan sudi untuk menertawai nasibnya sendiri, semata-mata demi kesehatan mental agar tidak jatuh sakit jiwa.
Puncak dari kekacau-balauan yang brutal itu tentu saja terjadi di tengah jalan-jalannya; tempat di mana begitu banyak jenis manusia, dengan masing-masing kepentingan dan keperluannya, berbagai rupa aktivitas, arah yang hendak dituju, kendaraan yang digunakan, dengan cara berkendara yang berbeda-beda, kecepatan yang membingungkan, jarak antar kendaraan yang sungguh mencerminkan sakitnya warga kota ini, saling sodok yang vulgar, dan kemacetan yang luar biasa kronik. Diramaikan dengan debu, sampah, asap buangan kendaraan, kebisingan, dan panas yang merajalela.
Tidak semua orang bisa dengan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan horror tersebut, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk bergerak selaras atau menyiasati keberingasan jalanan Jakarta. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan penguasaan spasial yang sangat baik dan tepat yang bisa sukses menggumulinya.
Setelah melalui berbagai pertimbangan yang tidak singkat, dengan segala penghormatan penulis berpendapat bahwa Lima Besar Juara Penguasaan Spasial Jakarta adalah sebagai berikut:
5. Sopir Bajaj
Ada anekdot yang mengatakan bahwa hanya Tuhan dan sang sopir itu sendiri yang mengetahui ke mana Bajaj akan berbelok. Kendaraan yang satu ini pun mendapat julukan sebagai kendaraan para Dewa karena kemampuannya yang luar biasa; seorang supir bajaj yang handal akan bisa menerobos kemacetan dengan cara melipir tepian jalan atau bahkan melibas di antara kendaraan-kendaraan lain yang mengular. Ia bisa berputar 180 derajat dengan ruang putaran yang sangat kecil atau membelokkan bajajnya dengan sangat patah dan menyelip dengan lincah di ruang jeda antar kendaraan yang mengantri. Ia bisa mengangkut berbagai macam barang - dari belanjaan pasar sampai kasur bekas dan jemuran lipat, ia mampu menerobos genangan air dan jalan berlubang parah, dan yang terpenting ia mampu melewati gang yang sangat sempit yang bertebaran di Ibukota.
Ini bukan hanya mengenai fakta bahwa bajaj memang relatif lebih kecil dibandingkan dengan kendaraan sedan yang terkecil sekalipun. Ini tentang bagaimana mereka memanfaatkan keunggulan tersebut untuk menyiasati situasi dan kondisi jalanan Jakarta yang mematikan, yang mana diperlukan penguasaan spasial yang sangat baik oleh sang supir.
4. Pengendara Sepeda Motor
Jika dalam kasus Bajaj hanya Tuhan dan sang sopir itu sendiri yang mengetahui ke mana Bajaj akan berbelok, dalam kasus sepeda motor di jalanan Ibukota Jakarta, penulis cukup yakin bahwa Tuhan pun tidak tahu-menahu ke mana sepeda motor akan meluncur. Bahkan bisa dikatakan bahwa sang pengendara sepeda motor itu sendiri pun tidak benar-benar mengetahui ke mana ia akan melajukan kendaraannya - hingga seper-sekian detik sebelumnya.
Ya, jika kita perhatikan, pergerakan sepeda motor di jalanan Jakarta memang sangatlah instinktif dan impulsif. Mereka bergerak dengan kecepatan yang berbeda-beda, saling susul-menyusul satu sama lain, menghindari lubang-lubang yang bertebaran seperti ranjau, memacu diri ke arah manapun jalanan tampak sedikit saja kosong, menyempil di antara truk-truk besar, merangsek dengan lincah menghindari kaca-kaca spion mobil, memotong laju kendaraan lain dengan jarak yang tipis, menyalip mobil di tikungan, mengambil jalur yang berlawanan, bahkan menaikki Jembatan Penyeberangan Orang.
Kesemua itu dilakukan seringkali hampir tanpa pemikiran terlebih dahulu, begitu liar dan bebas, seperti zat cair di antara benda-benda padat: seperti air yang - seiring gravitasi - merembes turun ke bawah melewati pasir ijuk dan kerikil di dalam sebuah sumur resapan. Melihat cara bergeraknya yang sedemikian "elok" bisa katakan bahwa sang pengendara motor telah sedemikian meresapi - bagaikan bersatu-padu - dengan sepeda motornya dan ruang pergerakan yang tersedia untuknya, baik itu lapang maupun sempit: "Manunggaling kaliyan montor ugi margen ". Suatu pemahaman spasial akan jalanan yang mencapai tingkatan orang-orang suci, para Sufi, dan Pandita zaman klasik.
3. Sopir & Kernet Kopaja/Metromini
Berbeda dengan sopir bajaj dan sepeda motor, semua orang sudah tahu dan sudah menduga ke mana sopir Kopaja dan Metromini akan mengarahkan kendaraannya. Bahkan sang kernet, sebagai side-kick sopir, akan melambaikan tangan, atau tidak jarang melambaikan seluruh badannya sekalian, ke arah yang hendak dituju oleh kendaraan berbadan besar itu.
Ke mana Kopaja dan Metromini akan mengarah adalah sesuatu yang terang benderang seperti jelasnya penglihatan di tengah hari yang cerah. Yang menjadi persoalan adalah bahwa tidak ada siapapun yang dapat melawan kemauannya itu, tidak sekalipun - seringkali - Polisi.
Keras kemauannya melampaui Jenderal Besar Napoleon Bonaparte atau Genghis Khan sekalipun. Melalui atraksi koordinasi yang sempurna dengan kernetnya, ia akan menyalib jalanan padat dari jalur paling kanan ke jalur paling kiri untuk sekadar menaikkan penumpang, lantas dari paling kiri kembali lagi ke paling kanan untuk dengan segera meninggalkan kemacetan yang telah dibuatnya di belakang. Jika diperlukan ia akan menerabas jalur Busway dan, tidak cukup di sana, melindas separatornya sekalian ketika manuver kilat diperlukan. Ia tidak akan sungkan-sungkan untuk berhenti membatu di tengah jalan menunggui dua orang calon penumpang yang terbirit-birit menghampirinya, atau tidak jarang ia akan dengan gagah berani memalang dua jalur jalan sekaligus. Sementara di waktu yang lain lagi ia akan dengan santai berlambat-lambat menyusuri jalanan sempit, membiarkan beratus-ratus kendaraan membuntutinya dengan gusar karena tidak memiliki kesempatan sedikitpun untuk menyusul badan besarnya, demi menemukan tambahan penumpang di sepanjang jalan.
Apa yang terlihat adalah sungguh tabiat penguasa besar jalan raya; yang kehendaknya tak terbantahkan oleh hampir apapun juga, yang setiap sedikit saja tindakannya akan selalu berpengaruh terhadap kondisi jalanan di sekitarnya secara luas.
Selain hal-hal yang lainnya, untuk menjadi seorang penguasa jelas sangat diperlukan keterampilan dan kemampuan, yang mana mereka pahami dengan sangat baik; keterampilan dan kemampuan untuk menguasai jalanan secara spasial, beradaptasi dengannya, dan bahkan mempengaruhinya. Singkatnya, bukanlah perkara mudah unruk memaksakan kehendak di tengah jalanan Jakarta yang begitu padat, dan mereka telah berhasil melakukannya dengan sangat baik.
2. Pedagang Kaki Lima
Para juara yang sebelumnya memiliki keunggulan penguasaan spasial - terutama - dalam hal pergerakan aktif dan manuver; terabas-menerabas, selip-menyelip, potong-memotong, dan susul-menyusul. Di urutan kedua ini kita menemukan sosok juara yang justru hampir tepat berkebalikan, yaitu pemanfaatan seni untuk berdiam. Keunggulan yang ditekankan adalah penguasaan spasial dalam hal pemosisian diri, pergerakan amat lambat, penguasaan ruang secara cenderung pasif, dan kemampuan beradaptasi yang luar biasa baik.
Seni untuk berdiam yang digunakan oleh pedagang kaki lima tidaklah sesederhana sekadar memanfaatkan ruang yang tersisa untuk meletakkan lapak dagangan. Misalnya, meskipun kolong jembatan layang menyisakan banyak ruang, sangat sedikit atau tidak ada sama sekali pedagang kaki lima yang berjualan di sana, karena ruang tersebut adalah ruang negatif, yang memang tidak memiliki nilai kegunaan bagi orang yang lainnya.
Ruang yang bisa mereka manfaatkan adalah ruang positif yang memiliki nilai kegunaan untuk khalayak ramai. Semakin tinggi nilai kegunaannya, semakin baik nilainya sebagai tempat untuk menggelar lapak dan berjualan. Dan mereka pun harus berlomba-lomba dengan waktu, dengan penertiban, dan tentu saja dengan sesama pedagang kaki lima.
Seiring semakin sempitnya ruang positif yang tersedia, mata mereka diuji untuk menjadi sangat jeli untuk bisa menemukan sepojok lahan, secuil badan jalan, atau sepetak ruang kosong di pinggiran trotoar. Selain harus merupakan ruang positif, arus pergerakan di sekitarnya tidak boleh terlampau cepat, kehadiran si pedagang kaki lima tidak boleh terlampau mengganggu arus pergerakan tersebut, lingkungannya harus cukup kondusif secara keamanan, harus memiliki kesesuaian antara calon pasar dengan apa yang ditawarkan, dan harus memiliki kestabilan situasi setidaknya hingga profit yang dihasilkan sudah impas dengan risiko yang ditanggung jika terjadi penertiban.
Dalam berhubungan dengan pengguna ruang positif yang lainnya, mereka harus mampu untuk menjaga keseimbangan yang rumit dan sensitif antara okupasi ruang, ketersediaan pasar, kebutuhan pasar, dan toleransi pasar. Dan dalam hal metode okupasi ruang, mereka harus melakukan penyesuaian yang tanpa henti terhadap situasi dan kondisi di lapangan.
Pedagang kaki lima adalah juara dalam hal adaptasi, fleksibilitas, dan kekeras-kepalaan dalam konteks spasial. Seni berdiam dan memanfaatkan ruang positif yang sangat minim kuantitasnya ini bisa disetarakan dengan plak di geligi, seperti timbunan kolestrol di pembuluh darah, seperti tumbuhan perintis yang keras kepala dan tangguh, seperti lumut di bebatuan pegunungan.
1. Polisi Cepek
Kini kita sampai di tingkatan juara yang tertinggi di Jakarta. Ini adalah - sejauh yang penulis ketahui - merupakan tingkat tertinggi dari pemahaman dan penguasaan spasial.
Tidak seluruh praktisinya dapat dianggap telah mencapai tingkatan tertinggi ini, bahkan jika dibandingkan dengan tingkatan-tingkatan juara di bawahnya, secara persentase justru tergolong sangat sedikit. Untuk menemukan permata jalanan ini kita harus mencarinya di tempat-tempat yang terberingas dan paling terkutuk oleh kemacetan serta kesemerawutan di kota ini.
Carilah mereka di putaran jalan yang terpadat dan termacet di kolong jembatan layang di mana jarak antar kendaraan tidak pernah melampaui setengah meter jauhnya, carilah mereka di persimpangan yang paling kacau balau di jalanan yang rusak berantakan di mana seringkali motor, mobil, bajaj, dan bus saling mengunci tak memberi peluang kepada yang lainnya, temukan mereka di jalan-jalan alternatif yang dilalui oleh kendaraan dari segala penjuru arah tanpa henti sepanjang hari di mana seluruh kendaraan yang hadir kalap dalam usahanya masing-masing untuk merebut jalan.
Hanya di tempat-tempat itu kemampuan sang polisi cepek diuji, diasah, ditempa, dan dipoles dengan tanpa henti hingga mencapai kesempurnaan yang tak tertandingi.
Mereka tidak melulu bergerak ataupun berdiam, mereka memadukan keduanya; bergerak sekaligus diam. Mereka tidak menggunakan kendaraan atau alat, tetapi mereka mampu menggerakkan dan mengendalikan hampir seluruh hal di sekitarnya. Mereka tidak berpacu bersama arus dalam kecepatan, tetapi mereka berada di dalam arus. Mereka menentang arus, tetapi arus tidak mampu menyentuh tubuhnya.
Apa yang mereka lakukan adalah perpaduan antara bergerak-gerak berpindah-pindah tempat di antara ruang-ruang sempit dan terpecah-pecah yang berada di antara banyak sekali kendaraan, meliuk-liuk menyesuaikan bentuk tubuh menghindari moncong mobil sedan, ban motor, dan kaca spion Metromini - sambil menyorongkan tangan untuk memetik uang logam lima ratus rupiah dari tangan pelintas. Lalu dengan ketegasan yang sempurna mereka halangi arus yang satu untuk membiarkan arus yang lain berlalu, bergerak mundur sambil berputar untuk menanggapi arus kendaraan yang lain lagi.
Ada koordinasi yang sangat baik antara posisi, gerakan, arah, dan kecepatan masing-masing anggota tubuh berbanding anggota tubuh yang lainnya - tangan, kaki, badan, pantat, dan kepala - terhadap ruang-ruang yang tersedia, yang selalu dengan cepat bergerak-berpindah serta berubah ukuran dan bentuk dengan sangat intens.
Apa yang mereka lakukan adalah seperti seorang penari balet yang meliuk-liuk di tengah pasar yang sangat ramai dengan tanpa menyenggol satu orangpun, tanpa menjatuhkan satu barangpun. Sangat cair dan lembut, bercampur-baur dalam pergerakkan, tak tersentuh tetapi mengendalikan.
Jika, dalam kaitannya dengan jalanan Ibukota Jakarta, Tuhan mengetahui ke mana bajaj berbelok tetapi tidak mengetahui ke mana motor akan meluncur, maka dalam kasus polisi cepek, penulis merasa sedikit curiga bahwa mereka adalah perwakilan dari Tuhan itu sendiri di atas jalanan Jakarta.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Popular Nonsensical Matters
-
Coba lihat gambar ini. Ini adalah sebuah gambar yang sangat layak untuk dihiasi dengan komentar berbunga. Bunga-bunga yang indah, yang se...
-
We can't expect high density development in our suburbs because sprawling is an inherent trait of Indonesian new town development. Indon...
-
In The Batavia Series we will use historical maps to explore the spatial developments of Indonesian capital, Jakarta, from its founding ...
-
Have you ever being in a car that passes through a narrow strip of street where people seems to have low sensitivity of the presence of vehi...
-
A mother and a daughter worked tirelessly, day and night, against all weather, against their pain. They stacked stone block one after anothe...
-
The lines on his serene face silently tell, there were many things that the old man had endured in life. His soft smile tells that he foug...
-
I overheard the sky said to the sun, "look at the trees. They seem chaotic but they are very logical. Now look at them, the human anima...
-
Hidden beneath the rocks and behind the thickness of the leaves and roots, the Water Spring asked, "Who am I?" The Earth replied, ...
-
Every single evening of every single day, the old man would sit on the same chair by the window for hours. Every single evening of every sin...
-
This article will be a simple causality exploration of why (some) public spaces in Jakarta are (still) ugly, in this case the river. Common ...
and i hate all those people you mentioned ;)
ReplyDeletethank you for this writing..