7 Agustus 2006
Sebenarnya aku lebih suka bicara langsung denganmu, muka berhadapan dengan muka, supaya kau dengar apa yang kukatakan langsung dari mulutku. Tapi apa mau dikata, aku ada di sini dan kau ada entah di mana, sementara apa yang mau kukatakan jelas sudah harus kukatakan sekarang juga. Maka sekarang kau sedang baca tulisanku. Anggaplah ini kata-kataku, walaupun jelas beda dan orang tolol manapun mesti bisa membedakan antara tulisan dan perkataan. Tapi anggaplah ini kata-kataku, karena aku tak bisa mengatakannya langsung padamu, sementara apa yang mau kukatakan sudah sangat mendesak sifatnya.
Begini. Aku bertemu Tuhan!
Ya. Tuhan. Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, yang maha tau, maha adil, dan maha segalanya. Tuhan yang menciptakanmu, menciptakan aku, dan menciptakan segalanya. Sungguh-sungguh Tuhan yang sesungguhnya Tuhan.
Aku bertemu denganNya dua hari yang lalu ketika pagi subuh-buta. Pukul berapa tepatnya aku tak ingat lagi, yang jelas ayam tetangga belum mulai meracau dan keponakan induk semangku belum mulai menyapu lantai. Mungkin sekitar pukul empat, tapi sudah kubilang aku tak tau pasti. Langit waktu itu masih gelap dan udara kota terkutuk ini sedang dingin-dinginnya, tidak ada siapapun yang masih atau sudah melek sepagi itu. Hanya aku sendirian di dalam kamarku, membaca buku, dan sedikit terkantuk-kantuk.
Masih ingat betul, aku baru saja mulai membaca halaman seratus tujuh puluh dua waktu itu, ketika tiba-tiba seekor kutu buku muncul di antara lipatan di bagian tengah buku. Merayap-rayap menuju halaman seratus tujuh puluh tiga. Tidak ada yang aneh dengan kutu itu, persis sama seperti kutu-kutu lainnya yang pernah kulihat. Baru saja aku hendak menyentilnya, tiba-tiba ia bersuara. Awalnya aku tak mengerti apa bunyinya, kukira cuma sekadar suara, walaupun aneh juga seekor kutu bisa bersuara seperti itu. Setelah mencoba mendengarkan lebih teliti baru aku mengerti, ia berkata "tunggu! Tunggu dulu! Hei! Aku ini Tuhan!"
Jangan salah sangka, aku tidak langsung begitu saja percaya pada apa yang dikatakannya. Bahkan aku tidak langsung percaya pada apa yang kudengar. Bahwa seekor kutu bisa berbicara. Seekor kutu, berbicara? Mengaku Tuhan pula? Aku justru mengira aku sudah terlalu mengantuk dan linglung sampai bisa mendengar seekor kutu berbicara denganku.
Tetapi ia mengajakku bicara lagi. "Woi. Dungu! Kau tak dengar? Aku Tuhan!"
Aku langsung tersentak dan secara reflek menutup buku yang sedang kupegang, menjepit si kutu di antara halaman seratus tujuh puluh dua dan seratus tujuh puluh tiga. Rasa kantukku langsung menghilang, bahkan menjadi sangat segar. Setelah yakin aku memang sungguh-sungguh sadar dan tidak sedang bermimpi, kubuka lagi buku itu.
Maka muncullah sang kutu yang tampak kejengkang tak karuan. Ia segera berdiri dan pertama-tama menghardikku dengan keras, "goblok!" Aku hanya terbengong-bengong memperhatikan kutu yang kemudian celingak-celinguk memeriksa bagian samping dan belakang tubuhnya, persis seperti orang yang merasa ada permen karet menempel di pantat celananya. Setelah selesai baru ia menengadah lagi tepat ke arah mataku, bagaikan bertolak pinggang ia memperkenalkan diri "aku Tuhan. Siapa namamu? Santai aja, gak perlu tegang begitu."
Yakinlah aku, bahwa kutu itu memang berbicara, ia berbicara padaku. Tetapi ia mengaku Tuhan. Kutu yang berbicara, walaupun tidak masuk akal, akhirnya bisa kuterima karena bagaimanapun aku memang mendengarnya berbicara. Tapi ia mengaku Tuhan. Kutu buku yang mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan! Sungguh di luar akal sehat manusia yang sehat lahir dan batin seperti diriku.
Kuputuskan untuk mengajaknya berbicara, karena aku menjadi sangat ingin tau, kutu macam manakah yang bukan saja - sekali lagi di luar akal sehat - dapat berbicara, melainkan juga mengaku sebagai Tuhan.
***
"Kau Tuhan?" Aku memulai perkataanku. Dan aku sungguh merasa sangat tolol ketika memulai pembicaraan itu. Bayangkan saja, berbicara dengan seekor kutu, yang mengaku Tuhan pula! Orang gila pun mungkin tak sudi melakukannya. Tapi kutu ini memang berbicara, dan ia memang mengaku Tuhan. Maka walaupun rasa ketolol-tololan itu menyengatku hingga ke ubun-ubun, kulanjutkan juga pembicaraan itu. "Ke mana saja kau selama ini? Mengapa baru sekarang kau muncul lagi?"
Dengan suara yang datar dan berkesan dilambatkan kutu itu justru berkata, "tadi kutanya siapa namamu. Dan kau belum menjawabku." Kujawab dengan suara yang datar pula karena, kau tau, memberitahu namaku ke seekor kutu adalah puncak dari ketololan yang kurasakan. Setelah itu baru sepertinya ia merasa puas dan melanjutkan kembali.
"Aku ini Tuhan. Aku ada dan selalu ada. Aku tidak pernah pergi. Dan aku pun selalu berusaha berkomunikasi dengan orang-orang, tapi pada umumnya mereka terlalu dungu, atau banyak dari mereka segera dimasukkan ke dalam Rumah Sakit Jiwa."
Pantas saja mereka segera dimasukkan ke dalam Rumah Sakit Jiwa. Bagaimana tidak, di mana di dunia ini ada orang waras yang berbicara dengan seekor kutu yang mengaku Tuhan. Tetapi tampaknya itu sebuah kesalahan. Karena tepat di pagi hari itu ternyata aku sedang berbicara dengan seekor kutu, yang nyata-nyata mengaku bahwa dirinya Tuhan. Dan jelas aku adalah seorang waras.
"Mengapa kali ini kau memilihku untuk berkomunikasi, kutu - maksudku Tuhan?"
Sambil mengusap tangan-tangannya, kepala, dan badannya secara bergantian, yang mana membuatku sekilas berpikir, bahwa kutu yang mengaku Tuhan ini pesolek juga sifatnya, ia menjawab enteng, "sederhana saja, karena kau tak terlalu dungu. Tapi juga tak terlalu cerdas."
Setelah menjawab, ia mulai berjalan ke tepian buku, menengok ke belakang ke arahku dan berkata "turunkan aku."
"Ha?" Aku tidak mengerti, jelas jidatku berkerut dan mulutku celangap sambil menatap si kutu yang masih menengok ke arahku. Dengan tidak sabar dan hampir memotong ucapanku ia berkata "turunkan aku. Ke lantai!"
Maka kuturunkan buku yang sejak awal tadi masih kupegang di depan dadaku. Ia mulai merayap turun dan menjauh dari buku yang kini tergeletak di lantai di depanku. Setelah berjarak kira-kira satu meter dari tempatku duduk ia mulai berhenti dan merapat ke tepi lemari pakaianku, kemudian dalam satu kejapan mata yang kulakukan, telah muncul seorang manusia di tempat itu menggantikan sang kutu.
Aku terkaget-kaget dan terperanjat, mundur dari tempatku duduk di lantai, dan hampir bangun karena ternyata di belakangku adalah dinding. Di depanku duduk seorang manusia yang berusia kurang lebih sama denganku. Rambutnya kering dan tidak terlalu tercukur rapi, kulitnya coklat, matanya tampak agak lelah, pakaiannya berupa jubah hitam - seperti jubah yang digunakan oleh pendeta-pendeta Kristen zaman dulu, berlengan panjang dan bagian bawahnya menerus hingga kaki seperti daster.
Ia menatapi pakaiannya sendiri seperti menimbang-nimbang, kemudian menatapku yang masih membeku dalam posisi setengah jongkok dan setengah duduk. "Maaf. Salah." Ia tersenyum singkat, dan ketika mataku berkejap sekali lagi, pada saat mataku membuka ia telah berganti pakaian. Ia mengenakan kaos oblong dan celana panjang katun polos berwarna putih. Sekali lagi ia menatapi pakaiannya, tampak puas, dan balik menatapku. "Ada rokok?"
Setelah menelan ludah dan mengambil rokok di sampingku tanpa melepaskan pandangan darinya, kusodorkan rokok sekaligus dengan koreknya. Ia ambil sebatang, menyalakannya dengan sebuah isapan panjang, menariknya ke dalam paru-paru, dan menghembuskannya dengan puas sambil menyandarkan punggungnya ke lemariku. Kakinya diselonjorkan, yang kanan diletakkan di atas yang kiri. Aku perlahan-lahan mulai duduk kembali, tetapi tetap tidak melepaskan pandanganku yang jelas dipenuhi dengan keheranan. Ia hisap lagi rokoknya dan menghembuskan asapnya sambil mengambil asbak yang ada di antara kami berdua, kemudian ia kembali pada posisinya semula dan menatapku sambil tersenyum tipis. "Nah. Sepertinya ada yang hendak kau tanyakan?"
***
Mulutku masih celangap, tetapi perlahan-lahan aku mulai menguasai diriku. Baik, kutu - yang mana sekarang telah berubah menjadi seorang manusia - di hadapanku ini adalah Tuhan. Menyaksikan apa yang dilakukanNya, aku tak dapat berpikir lain selain bahwa Ia memanglah Tuhan yang sesungguhnya. Hanya saja hal ini terlalu tiba-tiba, dan tidak perlu dipertanyakan lagi, aku tidak terbiasa untuk - karena memang aku tidak pernah - duduk berhadap-hadapan dan bicara langsung dengan Tuhan, yang kini sedang duduk selonjoran sambil asik merokok di hadapanku. Dan tingkah lakuNya itu membuatku ragu kalau Ia adalah Tuhan yang sama dengan Tuhan yang selama ini dibicarakan orang-orang. Yang jelas aku tau, di kitab suci manapun tidak pernah diceritakan tentang Tuhan yang merokok dan berkaos oblong, terlebih lagi Tuhan yang menyamar menjadi kutu.
"Baik. Kau Tuhan. Apakah Kau Tuhan yang dikenal selama ini?" Agak terbata-bata aku menanyakannya sesudah beberapa kali menelan ludah dan mencoba untuk membuat otot-ototku menjadi lebih santai.
Seakan-akan Ia benar-benar tidak mengerti, Ia langsung menjawab, "Tuhan yang mana? Tidak ada Tuhan yang lain. Tuhan ya cuma aku."
"Maksudku Tuhan yang sekarang ini diimani oleh orang-orang beragama."
"Ah, bohong itu! Nggak bener. Wong Tuhannya aku."
Sedikit bingung karena seakan-akan menjadi ada dua Tuhan yang mengaku dirinya adalah Tuhan, atau bahkan lebih dari dua Tuhan yang mengaku Tuhan, aku terdiam sambil berusaha berpikir tentang hal itu. Kemudian mataku terarah kepadaNya lagi ketika Ia kembali menyambar, "yang Tuhan itu aku. Yang lain bohongan. Maksudmu yang disembah-sembah oleh orang-orang dari zaman dulu sampai sekarang, di dalam rumah-rumah ibadah itu toh?" Aku menganggukan kepala tapi tak berkata apa-apa. "Ya itu dia. Bohong itu. Aku ndak pernah minta disembah kok. Aku juga nggak ngerasa aku disembah. Entah apaan yang mereka sembah, yang jelas bukan aku."
Aku berusaha berpikir lagi, meneruskan pikiranku yang terpotong oleh kata-kataNya. Tapi yang terpikirkan cuma bahwa agama-agama itu mengatakan mereka menyembah Tuhan, kalau sekarang Tuhan ada di hadapanku, seharusnya tentu saja yang mereka - orang-orang agama itu - sembah adalah Tuhan yang ada di hadapanku ini. Tuhan. Maka kukatakan pikiranku itu, "tetapi mereka bilang mereka menyembah Tuhan," aku terdiam sebentar, "kalau Kau adalah Tuhan, berarti mereka menyembahMu. Kan?"
"Enggak. Udah kubilang aku nggak minta disembah. Dan yang mereka sembah itu bukan aku. Lagipula aku nggak seperti yang mereka omongin dan nggak seperti yang mereka tulis-tulis itu kok."
"Tapi mereka bilang mereka menyembah ..." belum selesai kata-kataku Ia sudah berkata "mereka bilang begitu. Tapi mereka tau dari mana kalo mereka bener-bener nyembah aku?"
"Kitab suci bilang begitu. Semua kitab suci bilang agamanya menyembah Tuhan."
"Lha ya tau dari mana itu kitab suci isinya bener?"
"Nabi-nabi penulisnya mendapat wahyu...," sempat sedikit ragu untuk meneruskannya, "dariMu..."
"Kukasih tau, aku tidak memberi wahyu apa-apa pada mereka! Kenalpun tidak. Jadi mereka bukan bicara tentang aku."
Aku terbengong-bengong. Walaupun aku bukan seorang religius, tetapi tetap saja kenyataan ini membuatku terbengong-bengong. "Berarti... apa yang dikatakan kitab suci itu bohong, nabi-nabinya pun bohong, agamanya bohong, dan umat-umatnya semua dibohongi...?"
"Ada kemungkinan apa lagi? Kalau bukan bohong ya gila."
Sejujur-jujurnya aku masih bingung juga. Logikaku sulit untuk langsung menyocokkan apa yang dikatakanNya dengan apa yang selama ini dikatakan oleh orang-orang. Setelah berpikir sebentar, aku bertanya lagi, "apakah Tuhan memang cuma Kau, atau masing-masing agama itu menyembah Tuhan yang lain, tetapi bukan Kau?"
"Aduh! Jangan-jangan semua manusia memang dungu. Kau pun mulai menjadi dungu. Kukatakan Tuhan itu cuma aku. Tidak ada Tuhan yang lain selain aku. Begitu ada orang yang mengaku menyembah Tuhan, berarti dia bohong, atau tertipu, karena dia bukan menyembah aku. Tidak ada satupun orang di dunia ini yang menyembahku." Ia menghisap rokoknya, menjentikkan abunya di asbak dan meneruskan, "lagi pula kau tak melihat kekonyolan itu? Orang-orang dungu itu punya banyak agama untuk menyembah Tuhan, lantas maksudnya ada banyak Tuhan dengan banyak cara menyembah, atau ada banyak Tuhan dengan cuma satu cara menyembah yang benar, ..." Ia berhenti, menghisap rokok lagi, "atau ada satu Tuhan dengan banyak cara menyembah, atau ada satu Tuhan dengan cuma satu cara menyembah yang benar?"
Asap rokok keluar dari mulutNya ketika Ia mengucapkan potongan kalimat yang terakhir itu, dan sesudah selesai berucap Ia hembuskan semuanya sambil menatapku dengan dalam, membuatku kembali berpikir-pikir. Lagi-lagi, belum selesai aku berpikir Ia sudah meneruskan, "bagaimanapun yang sesungguhnya, tau dari mana kau bahwa apa yang dikatakan oleh agama-agama itu, dengan kitab-kitab mereka, adalah benar adanya? Lebih tepatnya, tau dari mana kau, bahwa apa yang tertulis di kitab itu adalah sebuah kebenaran? Kitab-kitab yang ditulis ribuan taun lalu, oleh orang-orang yang sama sekali tak kau kenal, yang hanya mengatakan bahwa apa yang dikatakannya adalah kebenaran. Kau tau dari mana?"
Aku hanya dapat mengangguk-angguk, sambil perlahan-lahan mencerna apa yang dikatakanNya barusan, satu demi satu, sambil berharap kali ini pikiranku tidak Ia potong lagi.
***
Kalau Tuhan yang sesungguhnya, yang sedang duduk selonjoran di hadapanku ini bukanlah Tuhan seperti yang dikatakan oleh agama-agama, maka Tuhan seperti apakah Dia? Rasa ingin tahuku tergelitik karena menyadari bahwa ternyata manusia, selama entah berapa ribu tahun, telah mengenal Tuhan yang sama sekali salah, dan Tuhan yang sesungguhnya tepat berada di hadapanku. Kalau cerita yang dikatakan oleh agama-agama itu tidak benar, maka bagaimana cerita yang sesungguhnya?
"Tuhan, apakah Kau yang menciptakan Adam dan Hawa?", mulai kupancing Ia agar bercerita.
"Siapa lagi itu? Manusia dungu lainnya?"
"... dua manusia pertama yang... katanya... diciptakan oleh Tuhan..."
"Kalau Tuhan yang disebut-sebut oleh agama-agama itu sudah salah, maka yang lain-lainnya yang dikatkannya juga pun mesti salah. Jadi siapa itu Adam dan Hawa aku tidak tau menahu, tepatnya tidak ada itu dua manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhan. Aku tidak pernah menciptakan dua manusia dungu pertama itu."
"Berarti cerita penciptaan alam semesta selama tujuh hari pun tidak benar?"
"Tentu saja tidak. Mungkin itu cuma dongeng sebelum tidur untuk anak-anak kecil dua atau tiga ribu tahun lalu, yang kemudian diadaptasi menjadi cerita resmi, oleh orang-orang cerdas yang penipu. Atau gila. Dan diimani oleh orang-orang dungu, yang saling mendungui orang lainnya."
Baru saja aku hendak menanyakan hal yang lainnya, Ia melanjutkan, "Bahkan bahwa dunia ini bulat dan matahari adalah pusat tata surya saja orang-orang dungu itu tidak tau. Apa yang kau harapkan dari mereka, suatu pengetahuan tentang asal muasal dunia? Non sense!"
Sesudah Ia berhenti berbicara baru kukatakan, "cerita tentang buah terlarang juga dongeng...? Dan dosa asal juga dongeng...?" Sedapat-dapatnya kuusahakan supaya apa yang kuucapkan itu tidak terdengar seperti pertanyaan, karena semestinya memang itu tidak perlu ditanyakan lagi. Tetapi aku ingin dengar dari mulutNya sendiri, aku ingin sungguh-sungguh mendengar suatu konfirmasi bahwa itu memang bohong.
"Itu kau tau!" Ia berkata sambil menunjuk singkat ke arahku dengan rokok yang tinggal setengah di tanganNya dan menghembuskan asap dari mulutNya. "Jelas dongeng. Manusia yang dungu-dungu saja bisa menciptakan lemari besi, kalau aku yang sungguh berada di sana waktu itu, tentu saja buah jahanam itu sudah kumasukkan ke dalam lemari besi. Apa susahnya? Lebih masuk akal lagi kalau aku tidak usah repot-repot menciptakan buah yang tidak boleh dimakan, dipajang mentereng di tempat umum pula. Tuhan yang ada di dongeng itu mesti dimaksudkan sebagai Tuhan yang dungu seperti kalian-kalian manusia ini." MataNya dialihkan dari arahku ke arah yang lain sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ngaku Tuhan kok dungu... setidaknya aku tak akan sedungu itu."
Seperti teringat akan sesuatu, Ia tiba-tiba melanjutkan lagi. "Dan soal dosa asal. Itu pun gila. Yang makan buah kan cuma dua manusia dungu itu, tapi semua anak-cucu-cicitnya ikut kena akibat, sampai kau yang dungu itu di hari ini pun kena akibat buah sinting itu. Sungguh dongeng yang dungu tentang Tuhan yang dungu, yang dipercayai oleh orang-orang dungu."
Berarti Ia sesungguhnya tau tentang cerita-cerita itu, tetapi dari nada bicara dan gerak-gerikNya, aku merasa Ia menjadi semakin dan semakin emosional. Seperti mengeluarkan suatu ketidaksukaan yang telah lama dipendamNya. Dan oleh karena itu aku tidak dapat berkata-kata, Ia menjadi seperti orang tua yang sedang ngedumel pada anaknya. Terlebih lagi kalimat yang Ia ucapkan sesudahnya, terdengar lebih pelan, seperti berbicara dengan diriNya sendiri, tetapi jelas Ia ingin aku mendengarkannya.
"... katanya maha tau, mestinya udah tau itu buah bakal dimakan, ya tetep aja diciptain, tetep aja dipajang di depan idung manusia dungu... Mana ada Tuhan sontoloyo kayak begitu... Cerita bohong. Cerita bohong tentang Tuhan yang dungu..."
***
Kubiarkan dulu Ia menenangkan emosiNya yang mungkin baru sekarang dapat Ia keluarkan setelah sekian lama. Aku duduk diam memperhatikanNya tanpa terlepas, perlahan-lahan bergerak mengambil rokok dan korekku yang ada di sampingNya. Ia melirik dan kemudian menatapku sekilas, Ia dorong benda itu ke arahku. Kuambil sebatang dan kunyalakan. Kami berdua merokok sekarang. Bayangkan! Aku merokok bersama Tuhan, di kamar kosku.
"Ada makanan apa di sini?" Ia tiba-tiba bertanya sambil menatapku. Ia tampak lebih tenang sekarang, tidak dikuasai lagi oleh emosiNya. Pikiranku bergerak lambat mengingat makanan apa yang masih tersisa. Hanya sebungkus biskuit coklat yang sebagian sudah kumakan. Aku bangun dari dudukku, berjalan melintas di depanNya untuk mengambil biskuit itu. Aku berjalan dengan agak kikuk, perasaanku aneh, menyadari aku tengah berjalan berdiri lebih tinggi di depan Tuhan yang kini duduk termenung-menung di lantai. Persis aku biasanya duduk, persis seperti bagaimana manusia pada umumnya duduk.
Biskuit dan sebotol air minum kuletakkan di lantai di dekatNya. "Cuma ini yang ada, sebagian sudah kumakan pula," berhenti sebentar kutambahkan, "maaf..." "Oh tenang aja. Gak apa-apa. Aku nggak lapar kok." Ia mulai membuka bungkusnya yang kulipat dan kurekatkan dengan solatip bening. Meletakkan isinya di lantai, mengambil sebongkah biskuit coklat, dan mulai makan.
Pertama Ia seekor kutu, kemudian manusia, lantas merokok, sekarang Ia makan biskuit coklat yang tinggal setengah bungkus. Pikiranku sulit berkonsentrasi melihat dan memikirkannya. Ini sungguh ajaib. Sungguh tidak masuk di akal. Tetapi Ia memang di sana di depanku, sedang makan sambil memegang rokokNya yang tinggal sedikit di tangan yang satunya. Manusia paling gila pun mungkin akan mengutukiku dan menganggapku gila jika kuceritakan tentang ini. Tapi sungguh, Ia ada di depanku, Ia sedang makan, dan aku sadar-sesadar-sadarnya. Kuharap kau pun tidak ikut menganggapku gila, aku menaruh harapan padamu, maka kutuliskan hal ini, supaya kau dapat membacanya. Aku harap kau mengerti, walaupun ini sulit dipercaya, dan aku pun mungkin tidak percaya jika kau yang menceritakan hal ini padaku. Tetapi tolonglah untuk percaya.
Jika kukatakan aku bertemu Tuhan yang sungguh agung bersinar-sinar dengan jubah putih berkilauan, berjanggut putih berambut gondrong yang juga putih, dengan tongkat di tangannya serta lingkaran halo di belakang kepalanya, kau boleh curiga bahwa aku cuma berbohong atau sedang ngelindur ketika aku mengalaminya. Tetapi justru yang bertemu denganku bukanlah Tuhan semacam itu, bukan Tuhan yang selama ini digambarkan atau tergambarkan oleh orang-orang. Ternyata Tuhan hadir sebagai seekor kutu, dan sekarang Ia manusia yang sedang makan biskuit coklatku, mengunyahnya perlahan-lahan, menelannya, dan menghisap lagi rokoknya.
Tuhan yang selama ini digambarkan, tuhan berjenggot dan berkilauan itu, sesungguhnya memang, tau dari mana para nabi-nabi itu bahwa Tuhan memang berwujud seperti itu, terlebih lagi, tau dari mana mereka bahwa yang mereka kenal adalah memang sungguh Tuhan. Seperti yang Tuhan - yang sesungguhnya - katakan padaku. Melihat tingkah lakuNya, mendengar ucapanNya, aku justru mulai percaya bahwa Dia yang duduk di depanku itu adalah Tuhan. Tuhan yang sebenarnya.
Melihat Ia sudah tenang kembali dan bahkan sedikit terhibur karena biskuit coklatku, aku mulai bertanya lagi, "Tuhan, apakah Kau menciptakan takdir?"
"Aku tak akan repot-repot mentakdirkanmu menjadi seorang pembunuh hanya untuk kemudian memasukkanmu ke dalam neraka. Aku yang mentakdirkanmu, tetapi aku juga yang menghukummu atas takdir yang kuberikan. Itu namanya nggak ada kerjaan. Perbuatan bodoh."
"Berarti manusia bebas melakukan apa yang diinginkannya?"
"Sederhananya begitu. Intinya aku tidak mau repot-repot menciptakan takdir untuk masing-masing daripadamu." Ia menutup ucapannya sambil mematikan rokok di dalam asbak.
Pikiranku serentak melayang-layang, membayangkan apa yang selama ini telah dipercaya oleh manusia sebagai takdir. Mulai dari tetanggaku yang percaya ia ditakdirkan untuk tidak lulus pada semester kemarin, kawan masa kecilku yang orang-orang percaya ia memang telah ditakdirkan seperti itu ketika ia meninggal tertabrak truk tronton, para presiden dan raja-raja yang percaya pada takdirnya sebagai raja, hingga bangsa-bangsa yang percaya pada takdir bangsanya masing-masing. Rupanya memang semua orang pun gila. Dan aku menjadi tidak terlalu khawatir kalau ternyata aku memang gila.
Terutama semua orang yang percaya takdir, memang sekarang menjadi nyata buatku bahwa mereka gila. Pamanku ditakdirkan jadi seorang pengedar obat-obatan, dan sesudah mati nanti ia akan diadili atas perbuatan yang telah ditakdirkan untuk ia lakukan. Itu sungguh konyol. Bagaimana pula dengan bangsa Israel yang selama ribuan tahun mempercayai bahwa ialah bangsa yang ditakdirkan untuk terpilih. Kalau bukan kegilaan mereka, berarti sekadar kebohongan belaka. Tetapi bagaimanapun, kata Tuhan, maksudku Tuhan yang sebenarnya yang sekarang duduk di depanku, Tuhan yang katanya memilih mereka itu adalah Tuhan bohongan. Berarti seperti apa pun ceritanya, mereka pasti pembohong, atau sekali lagi, gila.
Nah sekarang Tuhan yang sesungguhnya ada di depanku, ... apakah mungkin Ia kini ada di hadapanku karena Ia telah memilih bangsa ini? Aku membelalak sekilas karena memikirkannya. "Apakah bangsaku adalah bangsa yang terpilih, Tuhan?"
"Maksudmu? Aku tak memilih bangsamu. Kalau dapat memilih, aku memilih untuk meminta sebatang rokok lagi."
Aku tidak langsung mengerti dengan ucapanNya. Setelah mencernanya sejenak dan mengerti, langsung kusodorkan lagi rokok ke arahNya, dengan korek apinya sekaligus.
"Maksudku seperti cerita tentang bangsa Israel..."
Ia tak langsung menjawab, melainkan mengambil sebatang rokok dari dalam bungkus, memasangnya di mulut, dan menyalakannya. Kali ini dengan isapan-isapan pendek. Asap mulai mengepul-ngepul, menatap sekilas pada rokoknya, baru Ia menjawab. "Tuhan kok memilih satu bangsa di antara bangsa-bangsa lainnya. Yang kayak begitu itu ya cuma Tuhan karangan bangsa itu dhéwék, atau kalo emang ada yang seperti itu ya artinya itu Tuhan fasis!" Cara bicara dan mimik mukaNya benar-benar suatu ekspresi penghinaan. Seketika mimikNya berubah dan bertanya dengan nada rendah, "kau mau punya Tuhan fasis? Atau jadi korban fasisme Tuhan?"
Aku tak dapat menjawabnya. Lagi pula kupikir itu memang cuma sebuah pertanyaan retorik dariNya. PertanyaanNya kemudian Ia jawab sendiri, "kurasa kau tak akan mau. Dan aku pun tak mau menjadi Tuhan yang fasis, Tuhan yang keji."
***
Jadi sudah jelas, yang di hadapanku ini adalah Tuhan yang sesungguhnya, dan Ia tadi katakan bahwa cerita yang sesungguhnya bukanlah seperti cerita yang selama ini kita ketahui atau dengar. Bahkan Ia, Tuhan, bukanlah Tuhan seperti yang orang-orang katakan tentang Tuhan. Atau biar kukatakan begini, yang selama ini kita ketahui tentang Tuhan adalah salah, dan orang-orang agama itu selama ini tinggal menjadi objek penipuan para nabi-nabi mereka. Yang mereka omongin tentang Tuhan adalah salah, mereka tidak mengenal Tuhan yang sesungguhnya, dan cerita yang sebenarnya tidak seperti cerita-cerita di dalam kitab suci itu.
Lucu juga, bahwa manusia telah selama ribuan tahun berputar-putar dalam lingkaran kebohongan dan kegilaan akan Tuhan yang ternyata sama sekali salah. Sementara para nabi-nabi di zaman dahulu itu berbohong atau mengidap kegilaan, memang, manusia manakah yang akan tau bahwa mereka dulu berbohong, setelah ribuan tahun seperti sekarang. Kita tak akan tau apakah nabi-nabi itu berbohong, kita tinggal cuma bisa baca dari tulisan-tulisan di dalam kitab suci, tanpa tau apakah yang tertulis di dalamnya adalah kebenaran. Hanya percaya. Tidak lebih dari itu. Aku jadi tersenyum-senyum membayangkannya. Dan semakin bertanya-tanya, Tuhan seperti apakah itu Tuhan yang sebenarnya, yang ada di hadapanku ini? "Apakah Kau pendendam, Tuhan?"
"Aku bisa mendendam. Tentu saja. Tapi aku bukan pendendam." Ia tertawa kecil setelah jawabanNya itu. Sepertinya ada yang lucu di sana, sepertinya ada yang menggelitikNya tentang cerita itu. "apa kau mau punya Tuhan yang pemarah sekaligus pendendam, yang membunuh ribuan bayi-bayi kecil di Mesir hanya untuk mendatangkan seorang nabi? Yang marah-marah lantas menenggelamkan seisi dunia dalam air bah? Atau yang mengutuk manusia yang satu sementara meninggikan manusia yang lain? Keji sekali Tuhan seperti itu. Aku bukan Tuhan semacam itu."
Setelah tertawa halus, Ia teruskan lagi, "Kuberitahu padamu, Tuhan yang kau kenal itu, sungguh keji. Dan dia bukanlah Tuhan yang sesungguhnya. Akulah Tuhan. Tetapi bukan Tuhan yang keji seperti itu. Aku bukan Tuhan yang menuntut seisi alam semesta untuk menyembahku, aku tidak gila hormat, aku tak akan kirim orang yang menghujatku ke dalam api neraka jahanam seperti yang katanya dilakukan oleh Tuhan dongeng itu."
Ia tersenyum-senyum ketika mengatakannya. Rupanya cerita tentang betapa pendendam dan pemarahnya Tuhan, maksudku Tuhan yang bohongan, yang dipercayai oleh umat manusia, membuatNya merasa geli. Memang aku pun merasa, akan menjadi tontonan yang lucu, seandainya ada seonggok boneka yang orang-orang anggap adalah diriku. Tetapi, "apakah Kau Tuhan yang pencemburu?"
Singkat, jelas, dan padat, Ia menjawab sederhana, "kalau aku pencemburu, sudah kumusnahkan semua manusia seisi dunia yang bebal dan tak tau adat ini!" Lalu Ia tertawa cukup lepas. Rupanya tidak, Ia sama sekali bukan Tuhan pencemburu seperti yang dikatakan orang. Bahkan Tuhan yang sebenarnya memandang tragedi kesalahkaprahan manusia menyembah Tuhan-Tuhan palsu menjadi hal lucu untukNya.
***
Melihat Ia tertawa lepas aku langsung kembali dari perjalananku dalam pemikiran. Aku langsung menyadari keberadaanku, kembali lagi ke dalam diriku yang tengah terduduk di lantai bersama Tuhan. Bersama Tuhan! Ada Tuhan di hadapanku. Benar-benar Tuhan dan bukan sekadar tulisan, patung, ukir-ukiran, ataupun segala rupa hal lain yang terwakilkan oleh bentuk atau cuap-cuap para pemuka agama. Tuhan ada di sini bersamaku. Aku menjadi sedikit merasa konyol dan menjadi canggung lagi. Bagaimana sikapku seharusnya pada Tuhan? Apakah memberi setengah bungkus biskuit coklat, rokok, dan air putih sudah cukup sopan untuk menyambut kedatangan Tuhan? Atau harus kulakukan yang lain? "Apakah aku, dan manusia lain, ... perlu berdoa kepadaMu, Tuhan?"
"Untuk apa? Manusia sendiri yang mengatakan bahwa aku maha tau. Tentu, kalau aku mau, aku tau apa yang ingin kau ucapkan dalam doa."
"Memang... tapi berdoa padaMu kan belum tentu berarti meminta sesuatu. Bisa juga manusia berdoa untuk berterimakasih kepadaMu... mengekspresikan..."
Sekali lagi kata-kataku dipotong ketika aku belum selesai bicara, "tetap saja, untuk apa? Kau mau meminta, berterimakasih, curhat, atau mengutukku sekalipun, aku toh sudah tau apa yang hendak kau katakan. Lalu untuk apa lagi kalian membuatku sibuk dengan segala ocehan kau dan semua mahluk manusia di dunia? Bisa dikatakan kalian justru menghinaku kalau masih tetap saja berdoa padaku. Seperti memberitahukan sesuatu kepada seseorang bahwa besok matahari akan terbit di Timur, yang mana jelas-jelas sudah diketahui oleh orang itu. Apakah orang yang memberitahu itu menganggap yang diberitahu sedemikian gobloknya sehingga tidak tau apa yang diberitahukannya?"
Kata-kataNya menyeretku kembali ke dalam jalan-jalan pemikiran yang membuatku termenung-menung. Benar juga apa yang diucapkanNya, memang tidak perlu berdoa. Tetapi kalau begitu, kalau Tuhan sungguh maha tau sehingga kita tidak perlu lagi berdoa padaNya untuk memberitahukan apa yang jelas semestinya sudah diketahuiNya, mengapa ia masih perlu memberi ujian atau cobaan kepada manusia? Tetapi tunggu, apakah Ia memang mencobai manusia? "Tuhan, apakah Kau mencobai manusia?"
"Mencobai? Kata-kata macam apa itu?? Apa maksudmu?"
Ia mengatakan 'mencobai' dengan nada dan ekspresi yang menunjukkan kejijikan. Tiba-tiba aku heran juga, bagaimana Ia dapat mengaku bahwa Ia maha tau, sementara Ia tidak mengerti apa yang kukatakan ini, sepotong kata sederhana sesederhana 'mencobai'? Tetapi biarlah itu nanti saja akan kutanyakan. Satu per satu.
"Maksudku memberi ujian, memberi cobaan pada manusia...?"
"Sepertinya kau yang sedang ... mencobai ... aku. Kan sudah kukatakan aku maha tau. Tanpa ... mencobai dirimu pun aku sudah tau bagaimana itu dirimu, dari ujung kuku jempol kakimu, hingga sejentik ketombe di pucuk rambutmu. Kau jangan bawa-bawa ajaran sesat tentang Tuhan agama-agama itu, itu semua kebohongan. Tuhan yang dikatakan nabi-nabi itu mesti saja sungguh dablek, apa gunanya lagi mencobai manusia yang - katanya - ia ciptakan sendiri kalau ia memang benar-benar maha tau, sehingga semestinya ia tau segala sesuatu tentang manusia itu. Iya kan?"
Sebelum sempat aku mulai berpikir lagi, Ia sudah menambahkan, "dan Tuhan palsu itu, yang sekarang dikenal, merasa perlu menyuruh seorang nabi membantai anaknya sendiri, hanya untuk mengetahui kadar iman dan kesetiaannya. Dan Tuhan palsu itu juga mengirimkan azabnya kepada berjuta-juta manusia di muka bumi, dalam bentuk kelaparan, penyakit-penyakit, kematian, kemelaratan, penderitaan, semua itu hanya untuk sekadar 'mencobai'? Aku tak habis pikir bagaimana Tuhan yang semacam itu dapat disebut Tuhan? Yang maha tau pula!" Terdengar ekspresi kejijikan yang sama setiap kali Ia mengucapkan kata 'mencobai'.
Selain tidak membutuhkan doa-doa dari manusia, rupanya Tuhan yang tampak nyenterik ini tidak juga memberi cobaan pada manusia. Karena Ia maha tau, katanya. Tapi tadi Ia sendiri kebingungan tentang kata 'mencobai' yang kuucapkan. Bagaimana mungkin Ia maha tau, kalau begitu? Tapi sekali lagi itu nanti saja, ada satu hal lain yang harus kutanyakan dulu kepadaNya. Tuhan, yang sesungguhnya, memang tidak ... mencobai (aku pun menjadi agak jijik dengan kata itu) manusia, tetapi bagaimana dengan setan dan iblis yang melakukan dan menyebabkan segala yang jahat di muka bumi? "Apakah setan dan iblis itu ada, Tuhan?"
"Ah itu pun bohong, para nabi-nabi yang dungu itu cuma membutuhkan kambing hitam saja untuk segala keburukan. Mereka mati-matian berusaha untuk menjaga supaya nama Tuhannya, yang palsu itu, tetap bersih suci, maka mereka limpahkan segala yang buruk kepada setan dan iblis. Sesungguhnya justru, berbeda dengan yang dikatakan oleh para nabi-nabimu, semestinya aku dan iblis adalah satu, tidak terlepas dan terpecah menjadi dua seperti yang mereka percaya."
Ia ambil botol air mineral, membuka tutupnya, dan menempelkan lobangnya ke mulut. Seperti kehausan karena telah tanpa henti berbicara menjawab pertanyaan demi pertanyaanku, Ia minum cukup banyak, berteguk-teguk air meluncur melalui tenggorokanNya dengan bersuara. Aku dapat mendengarnya.
Setelah selesai, sambil menutup kembali botol air minumku, Ia seka mulutNya dengan lengan kaos oblongNya, dan segera melanjutkan, "aku ini Tuhan, dan karena aku Tuhan, aku mesti mencakupi segala sifat dan keadaan yang ada, baik atau buruk. Aku bukan hanya maha yang positif, maka aku pun mesti maha yang negatif, demikian barulah aku dapat dikatakan sebagai Tuhan. Manusia sendiri yang mengatakan, Tuhan adalah maha segalanya. Jadi jika salah satu sisi telah dipecah dan dipisahkan kepada pihak yang lainnya, maka jadilah aku Tuhan yang cacat, yang tidak lagi maha segalanya, dan oleh karena itu bukan lagi merupakan Tuhan." Ia berhenti sebentar seperti memeriksa kembali apa yang sudah dikatakanNya, kemudian baru berkata "kau mengerti tidak?"
Aku mengangguk-angguk mendengarkan jawabanNya, bahkan sesudah Ia selesai bicara pun aku masih mengangguk-angguk, dengan hanya sekilas mengucap "ya... ya..." karena disibukkan oleh pikiran yang tengah mengaduk pikiranku. Pemikiran tentang Tuhan yang baru saja diperkenalkan kepadaku oleh Tuhan sendiri. Bahwa Tuhan yang maha segalanya semestinya juga mencakupi baik dan buruk, positif dan negatif, besar dan kecil, segalanya, dan oleh karena itu pemisahan segala sifat yang negatif ke dalam diri iblis, setan, atau siapapun itu justru akan membuat Tuhan itu sendiri menjadi tidak lagi sempurna, tidak lagi maha segalanya. Hampir tanpa sadar, mengikuti pikiranku itu, aku menggumam, "jadi, ... Kau maha segalanya?"
Dan Ia hanya menjawab dengan penuh optimisme, "Kalau tidak demikian aku tidak disebut Tuhan!"
***
Dengan segera topik tentang kemahaanNya itu membuatku terpikir, semestinya Ia juga maha adil! Lalu bagaimana dapat segala ketidakadilan dan kehancuran dunia sekarang ini terjadi? Mengapa Ia tidak memperbaikinya, atau setidaknya membuatnya jadi lebih baik, atau menunjukkan batang hidungnya dan mengatakan dengan tegas apa yang Ia kehendaki? Aku memutuskan untuk menanyakan hal itu kepadaNya, tetapi dengan perlahan-lahan.
"Tuhan, berarti Kau maha adil juga?"
"Perlu ditanya? Tentu saja!"
"Lalu... maaf... tapi kalau Kau maha adil, bagaimana dunia ini dapat menjadi dunia yang sangat tidak adil seperti sekarang? Yang dipenuhi dengan kejahatan dan pembunuhan, yang rusak berantakan, dan sangat amburadul...?"
Aku mengatakannya dengan sedikit hati-hati, secara tidak sadar aku takut Ia sampai marah atau tersinggung karena pertanyaanku. Tetapi ternyata Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalaNya dengan ringan, dan kemudian sambil berkata "ck.. ck.. ck.. kau belum mengerti juga ya?"
Ia menatap ke lantai dan mematikan rokok yang sejak tadi sudah tidak lagi dihisapNya, lantas berbicara "justru itu intinya. Aku ini maha adil, dan oleh karena itu aku tidak dan tidak dibenarkan dan tidak dapat memihak kepada pihak yang manapun yang ada. Aku harus membiarkan segalanya terjadi tanpa campur tanganku, keadilanku adalah keadilan yang utama, keadilanku benar-benar merupakan suatu kenetralan absolut, di mana aku tak menghadirkan diriku di mana pun, bahkan aku tak ambil peduli terhadap apapun, bagaikan bahwa aku ini tidak ada."
Kali ini apa yang dikatakanNya agak sulit untuk kucerna, tetapi perlahan-lahan dapat juga kumengerti. Ia maha adil justru karena Ia tidak memihak kepada apapun, entah itu baik atau pun buruk, maka dengan demikian segalanya terbebas dan mesti Ia bebaskan dari campur tanganNya, membiarkan segalanya mengalir dan terjadi tanpa Ia perlu dan boleh ambil perduli. Ia maha adil karena Ia maha segalanya, dan dengan demikian Ia menjadi sungguh netral secara absolut dalam arti yang sesungguhnya.
***
Berarti semestinya... "Tuhan... kalau Kau tidak memihak kepada sisi yang manapun, berarti Kau pun tidak memaksakan... atau katakanlah meminta manusia untuk melakukan perbuatan baik?"
"Tentu saja tidak. Itu kan Tuhan dongeng, yang dikatakan para nabi-nabi itu. Sementara aku nggak begitu. Aku nggak ngancem, juga nggak minta-minta kau melakukan perbuatan apapun. Sakarepmu dhéwék!"
"Bagaimana dengan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan manusia, Tuhan? Seperti memperkosa, merampok, membunuh, ... perang, penindasan, dan lain-lain... apakah Kau akan menghukumnya?"
"Kau sebut apa itu tadi segala macem memperkosa, merampok, membunuh, dan lain-lain?"
Kujawab "... perbuatan buruk..." dengan sedikit ragu dan sekaligus dengan nada yang seperti sebuah nada untuk bertanya.
"Nah itu udah tau. Buruk. Semestinya yang buruk ndak usah dilakukan, toh? Aku ngga ambil pusing dengan apa yang kalian lakukan di sini. Sabodo teuing."
Setelah mengatakan yang terakhir itu, tiba-tiba Ia mengangkat punggungNya yang sebelumnya disenderkan di lemari. Ia ambil botol air mineral dan minum kembali. Kali ini sedikit. Setelah selesai minum, sambil menutup botol Ia berkata "sudah ya, aku mau tidur dulu. Capek nih!"
Aku tergagap-gagap melihatnya perlahan-lahan meletakkan botol air mineral ke lantai. Ada sesuatu yang belum kutanyakan, tetapi aku agak sulit untuk mengingatnya. Ada yang terlupakan yang kutunda sebelum aku sempat bertanya. Aku merasakan keterburu-buruan untuk mengingat, hingga tiba-tiba aku teringat dan berkata dengan cukup keras "Oh! ... Tuhan! Ada yang belum kutanyakan... kalau Kau maha tau, kenapa sepanjang percakapan kita sepertinya Kau... tidak maha tau... setidaknya Kau tidak tau tentang kata 'mencobai'...?" Keningku terasa berkerut ketika menanyakannya.
"Ah. Kau tak punya rasa humor!" Hanya itu jawaban yang kemudian Ia berikan, sebelum tiba-tiba setelah mataku terbuka dari sebuah kedipan yang amat singkat, Ia telah menghilang, berubah bentuk menjadi seekor kecoak di sudut lemari pakaianku, di atas lantai.
Aku merangkak ke depan perlahan-lahan, dan bertanya, "Tuhan, apakah kita akan bertemu lagi?"
Sambil membalik arah tubuhNya menuju ke almari, dan entah bagaimana menurutku Ia tengah tersenyum lebar, Ia menjawab, "itu rahasia ilahi."
Setelah itu Ia mulai bergerak perlahan, dengan tanpa suara menyelip masuk ke kolong lemari pakaianku, menghilang di dalamnya.
***
Itulah pertama dan terakhir kalinya aku bertemu dengan Tuhan. Ketika Ia berjalan memasuki kolong lemari pakaianku, sebagai seekor kecoak, adalah terakhir kalinya aku melihatNya.
Sekarang telah berselang dua hari sejak kejadian itu. Sepanjang dua hari ini aku sering sekali terbengong-bengong memikirkan apa yang terjadi di subuh hari dua hari kemarin, yaitu bahwa Tuhan telah datang ke dalam kamarku, sebagai seekor kutu, yang kemudian menjadi manusia, dan terakhir menjadi kecoak. Tuhan bukan hanya datang, tetapi juga berbicara dan mengobrol denganku, menghisap dua batang rokokku, minum dari botol air mineral milikku, Ia juga bahkan makan biskuit coklatku, yang tinggal setengah bungkus itu.
Selama dua hari ini aku hampir-hampir tidak dapat percaya pada apa yang kualami. Tetapi bagaimana aku dapat tidak percaya, jika ada tiga batang puntung rokok yang tergeletak di dalam asbakku, dan juga kini biskuit coklatku telah habis tanpa sisa. Dan yang membuatnya demikian, maksudku yang menghisap rokok yang dua batang, dan yang memakan biskuit coklatku, siapa lagi kalau bukan Tuhan.
Aku sungguh-sungguh bingung. Aku tak tau harus bagaimana. Bahkan aku tidak tau apakah sebaiknya kuceritakan hal ini kepada orang lain. Kepada pacarku sendiri aku belum menceritakannya. Tidak juga kuceritakan tentang berbagai macam hal yang Tuhan ceritakan kepadaku. Tetapi bagaimanapun aku harus menceritakan hal ini kepada seseorang. Seseorang yang kupercayai dan dapat memberiku pendapat yang benar.
Setelah berpikir demikian, aku segera menghubungimu lewat telepon, aku akan membuat janji untuk bertemu denganmu. Tetapi ternyata kau sedang pergi dan baru akan kembali tiga hari ke depan. Maka kuputuskan untuk menuliskan terlebih dahulu semua ini, agar ingatan-ingatanku tentang perjumpaan dengan Tuhan dua hari yang lalu itu masih jernih di dalam benakku.
Yang kuharapkan adalah profesimu sebagai psikiater dapat memberi masukan-masukan dan pendapat yang berharga untuk apa yang kualami. Setelah ini aku akan meletakkan surat ini di meja kerjamu di Rumah Sakit Grogol, mohon kau dapat menghubungiku dengan segera setelah kau pulang dan kembali bekerja. Terimakasih.
Kawanmu.
24 December 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Popular Nonsensical Matters
-
Coba lihat gambar ini. Ini adalah sebuah gambar yang sangat layak untuk dihiasi dengan komentar berbunga. Bunga-bunga yang indah, yang se...
-
We can't expect high density development in our suburbs because sprawling is an inherent trait of Indonesian new town development. Indon...
-
In The Batavia Series we will use historical maps to explore the spatial developments of Indonesian capital, Jakarta, from its founding ...
-
Have you ever being in a car that passes through a narrow strip of street where people seems to have low sensitivity of the presence of vehi...
-
A mother and a daughter worked tirelessly, day and night, against all weather, against their pain. They stacked stone block one after anothe...
-
The lines on his serene face silently tell, there were many things that the old man had endured in life. His soft smile tells that he foug...
-
I overheard the sky said to the sun, "look at the trees. They seem chaotic but they are very logical. Now look at them, the human anima...
-
Hidden beneath the rocks and behind the thickness of the leaves and roots, the Water Spring asked, "Who am I?" The Earth replied, ...
-
Every single evening of every single day, the old man would sit on the same chair by the window for hours. Every single evening of every sin...
-
This article will be a simple causality exploration of why (some) public spaces in Jakarta are (still) ugly, in this case the river. Common ...
Dear writer
ReplyDeleteAda keseriusan logical error dalam tulisan ini,jika dirangkum ini adalah tipikal argumen ateis yang dibungkus dalam satir.
Saya sebenernya pengen bahas satu2, seriously, but it just all over the place and i dont know where to start.
Ada juga inkonsistensi yang kamu jg sadari di bagian akhir kemudian ditutupi dengan sanggahan humor. However it was still an inconsistency.
Pendapat saya, kamu hanya menginginkan Tuhan yang sesuai dengan gambaran yang kamu inginkan, dan menolak memahaminya dari sisi yang berbeda. Sehingga hanya memberi makan otakmu dengan materi2 yang sesuai dengan keinginanmu/maksudmu. Persis seperti gambaran/pandangan seorang anak kepada orangtuanya. Anak2 belum mengerti jika orangtuanya marah adalah demi perkembangan sang anak, mereka cuma merengek menganggap bapake jahat,tidak sayang,dsb, overall just dont fit his childish image of a father. Same goes to the writings. Kalau kamu sudah punya anak dan sudah mulai tumbuh pada umur2 tertentu, kamu bisa sedikit mencicipi bagaimana Tuhan Bapa mendidik dan menyayangi anak2nya. Sebagai seorang ayah pasti menginginkan yang terbaik utk anaknya, dan tidak selalu hrs dibelai, kadang hrs dimarahi, tough love. Dan oleh karena selalu menginginkan yg baik bagi anaknya, maka argumen maha adil itu adalah netral is absolutely horrible. Bahkan hakim pun harus berpihak pada kebenaran, ya betul ia tdk boleh berpihak pada individu tertentu, tp ia berpihak pada kebenaran, bukan pd kejahatan.
Melihat dr tulisan2mu kamu bukan amatiran, jadi pasti banyak membaca atheist lainnya seperti Dawkins. Masukan positif dr saya, try to read Dr.Edward Feser, ada bukunya 'Aquinas' yang menjabarkan summa theologica St.Thomas Aquinas secara lbh baik ketimbang penjelasan2 singkat yg sudah kuno mengenai summa theologica. Summa contra Gentiles juga bagus. And all of them is very logical, you cannot deny the conclusion without denying the premises.
Semoga berguna ya :)
ateis itu mengenal yang Hakiki cuman lagi tertunda :)
ReplyDelete