12 September 2006
Sungguh. Terlalu banyak orang goblok di dunia ini. Ada terlalu sangat banyak orang goblok yang tololnya mendekati predikat tolol yang teramat sangat. Aku tidak bercanda dan kukatakan padamu bahwa aku serius.
Kesalahan Tuhan yang terbesar, kalau Ia ada, adalah Ia telah menciptakan sedemikian banyak orang goblok di muka dunia. Sementara kesalahan terbesar keduanya adalah Ia membiarkan saja orang-orang goblok itu terus hidup dan berkeliaran di mana-mana.
Sehingga terjadilah; mereka semakin dan semakin goblok setiap menitnya, saling menggobloki satu sama lain, dan mempergoblok diri mereka sendiri dengan begitu intens, serta bangga akan kegoblokan itu, plus selalu ingin mempertunjukkan kegoblokannya, juga merasa perlu untuk terus-menerus berusaha mencapai tingkat kegoblokan yang semakin dan semakin goblok. Menit demi menit!
Bahkan mereka berlomba-lomba untuk menjadi yang tergoblok di antara yang goblok; menjadi raja goblok dari para goblok, menjadi trend-setter kegoblokan.
Ah! Ya, menjadi goblok adalah suatu trend, dalam arti goblok adalah sesuatu yang menular dan saling menjangkiti. Dengan tingkat penularan yang sangat tinggi yang lebih mudah menular ketimbang virus influenza sekalipun. Karena masalahnya memang, orang-orang itu, yang sedikit atau banyak memang goblok, merasa senang untuk tertulari, mereka ingin tertular kegoblokan, mereka suka menjadi goblok, dan seperti yang sudah kukatakan, mereka selalu dan sangat ingin serta terobsesi juga akan menyerahkan apapun untuk menjadi yang tergoblok.
Aku bersungguh-sungguh dan apa yang kukatakan adalah suatu kebenaran. Juga bukan suatu perumpamaan atau kiasan. Aku sama sekali tidak sedang bercanda atau berusaha berfilsafat. Sekali lagi kukatakan; aku serius!
Malah sebenarnya aku sudah tidak dapat lagi bercanda. Tersenyum pun tidak. Aku merasa frustrasi karena kehadiran begitu banyak orang goblok. Sebenarnya lebih tepat jika kukatakan karena hampir semua orang yang kulihat adalah goblok. Yang jika aku harus lebih jujur lagi, semua orang yang kulihat adalah orang-orang goblok! Sangat-sangat goblok! Bayangkan! Bagaimana aku tidak frustrasi karenanya? Bagaimana aku mau tersenyum dan bercanda di tengah lautan manusia-manusia goblok di sekelilingku?!
Benar, belum ada kutemukan atau kujumpai orang yang tidak goblok. Sama sekali tidak pernah!
Semuanya goblok. Penumpang-penumpang bus goblok, sopirnya juga goblok, tetanggaku sangat goblok, tetanggaku yang satu jauh lebih goblok lagi, teman-temanku semua goblok, rekan kerjaku goblok, anak-anak sekolah goblok, mahasiswa pun goblok, satpam goblok, penjual makanan goblok, penjaga toko goblok, saudara-saudaraku goblok, orang tuaku pun goblok, tidak ada satupun yang tidak goblok. Bahkan kulihat di TV, pembawa acaranya goblok, semua yang muncul di sana goblok.
Termasuk bule-bule dan orang negara lain pun goblok tidak tertolong, termasuk juga presiden mereka, raja-raja mereka, pemimpin mereka, semua goblok hingga dasar kegoblokan yang tergoblok. Dan bukan cuma di TV. Ketika sekali dua kali aku bertemu orang-orang luar negeri itu, bah! Dengan jelas dan tidak dapat berarti lain kuketahui, mereka sama saja gobloknya!
Aku melihat orang goblok di mana pun dan ke mana pun aku melihat. Manusia-manusia goblok dengan setiap tindakan mereka yang begitu goblok. Melihat orang merokok aku mengerti ia goblok; orang berjalan pertanda goblok, orang memasak hanya menunjukkan kegoblokkan padaku, orang tertawa jelas sekali gobloknya, orang berbicara menunjukkan setiap kegoblokkan yang ia punya, orang menyapu, orang sedang berdiri pun begitu terlihat goblok buatku. Bahkan bukan saja berdiri! Tatapan seseorang, tidak perlu itu tertuju padaku, sudah dengan sangat jelas menunjukkannya! Sangat-sangat goblok! Sangat-sangat bukan main gobloknya!!
Setiap orang! Setiap apa pun yang mereka lakukan, setiap tindakan mereka, segala suara dan gerak yang mereka lakukan, bahkan ketika mereka tidak bertindak sedikit pun, ketika mereka diam tidak bergerak, mereka mempertontonkan kegoblokan mereka padaku. Dan mereka sangat senang melakukannya.
Apakah sekarang sudah dapat kau bayangkan apa yang kurasa? Apakah kau mengerti bagaimana rasanya hidup, terjerumus, dan terperangkap di tengah-tengah orang-orang goblok yang keterlaluan gobloknya ini??
Hah!!
Dan bukan cuma orang-orang goblok itu yang menyiksaku. Selayaknya api akan meninggalkan gosong dan abu, orang-orang goblok itu pun meninggalkan jejak dan bekas-bekasnya di mana-mana, di mana pun mereka pernah berada, melalui apapun yang mereka kerjakan, di setiap hal yang pernah mereka sentuh: KEGOBLOKAN! DI MANA-MANA!
Kulihat kursi: Kulihat kegoblokkan di sana. Lampu, juga kegoblokan. Komputer, kegoblokan yang lain lagi. Kipas angin, satu lagi kegoblokan. Motor: Goblok. Sendal: Goblok! Air minum: Bukan main gobloknya!!
Meja, lemari, buku-buku, tas, pintu, kalender, celana, dinding, jam, semuanya tampak goblok. Helm dan sepatu juga goblok. Kertas dan pen yang kugunakan untuk menulis sangat-sangat goblok. Bahkan aku merasakan kegoblokan ada di udara kosong, di kegelapan malam, di atas langit, semua kegoblokan hasil kegoblokan manusia tercecer tumpah ruah berserakan di mana pun.
Sekali waktu aku sudah tak tahan lagi. Kepalaku mau pecah dan isi perutku berputar-putar. Sungguh mematikan rasanya ketika bahkan udara yang kau hirup pun adalah kegoblokan! Aku menjadi sangat pusing dan mual. Aku mau muntah. Tetapi di dalam kamar mandi kulihat kloset duduk yang kuhadapi, dan kulihat kegoblokan di sana! Sekalipun kloset, kloset tempat membuang tai-tai manusia yang pada dasarnya sangat logis dan selogis memasukkan makanan ke dalam perut! Kloset! Ia tidak terbebas dari kegoblokan itu. Dan serta merta mualku hilang, aku tak jadi muntah.
Tetapi kegoblokan tetap ada di mana-mana! Semuanya adalah kegoblokan!
Jangan kau kira aku merasa senang dan bangga karena hal ini. Jelas aku merasa tersiksa bukan kepalang karenanya. Dan jangan pernah kau sarankan untuk pergi memeriksakan diri ke psikiater: Itu sudah pernah kulakukan!
Hanya psikiater itulah yang ketika kulihat, bukanlah orang goblok. Hanya satu orang itu dan tidak ada orang lainnya. Walaupun ia bekerja di dalam ruang yang goblok, bersama suster goblok, di atas kursi goblok dan meja goblok, menulis di atas kertas goblok, dengan pen goblok, mengenakan kacamata yang tidak kalah gobloknya. Tetapi psikiater itu, ia tidak goblok ketika kulihat.
Kudengarkan kata-katanya dan kuikuti semuanya. Obat yang ia tuliskan di atas kertas yang goblok dengan tinta yang juga goblok itu kutebus di apotek yang keterlaluan gobloknya. Kubayar dengan uang yang goblok dan diterima oleh kasir goblok di balik mesin goblok yang menampilkan angka-angka goblok. Kubawa obat itu pulang dan ketika kubuka bungkusnya, ternyata obatnya adalah pil-pil yang tampak luar biasa bukan main amat sangat goblok!! Maka segera kubakar semuanya, termasuk copy-resep obat yang sekarang membuat segalanya menjadi tampak jelas: Bahwa obat goblok itu telah disarankan oleh seorang psikiater yang maha-goblok.
Tidak perlu bersimpati padaku. Aku tak butuh sedikitpun hal-hal semacam itu. Walaupun aku masih merasa frustrasi dan setiap saat kudengar, kulihat, kusentuh, kurasakan kegoblokan itu dengan semua panca inderaku, yang semakin menjadi-jadi dan meledak-ledak setiap harinya; tetapi aku mulai terbiasa dengan perasaan kesakitan, muak, jijik, marah, dan segala yang buruk dan tidak enak ini.
Aku mulai dapat menerima, bahwa aku memang hidup di dalam lautan raya kegoblokan, berasama kegoblokan, dan tidak ada ruang sedikitpun dan materi apapun yang terbebas daripadanya, serta tidak ada yang dapat kulakukan terhadap bencana kegoblokan ini.
Sekali lagi kuminta tidak perlu bersimpati padaku, jangan pernah lakukan itu, dan terlebih lagi jangan pernah berpikir untuk berusaha berhubungan denganku, bahkan jangan pernah menyampaikan sesuatu padaku, JANGAN: Karena aku mulai curiga bahwa kau pun goblok.
24 December 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Popular Nonsensical Matters
-
Coba lihat gambar ini. Ini adalah sebuah gambar yang sangat layak untuk dihiasi dengan komentar berbunga. Bunga-bunga yang indah, yang se...
-
We can't expect high density development in our suburbs because sprawling is an inherent trait of Indonesian new town development. Indon...
-
In The Batavia Series we will use historical maps to explore the spatial developments of Indonesian capital, Jakarta, from its founding ...
-
Have you ever being in a car that passes through a narrow strip of street where people seems to have low sensitivity of the presence of vehi...
-
A mother and a daughter worked tirelessly, day and night, against all weather, against their pain. They stacked stone block one after anothe...
-
The lines on his serene face silently tell, there were many things that the old man had endured in life. His soft smile tells that he foug...
-
I overheard the sky said to the sun, "look at the trees. They seem chaotic but they are very logical. Now look at them, the human anima...
-
Hidden beneath the rocks and behind the thickness of the leaves and roots, the Water Spring asked, "Who am I?" The Earth replied, ...
-
Every single evening of every single day, the old man would sit on the same chair by the window for hours. Every single evening of every sin...
-
This article will be a simple causality exploration of why (some) public spaces in Jakarta are (still) ugly, in this case the river. Common ...
No comments:
Post a Comment