DILARANG: Duduk-duduk / Istirahat Tidur / Makan Minum / Buang Sampah Sembarangan / Meludah |
Dilarang buang sampah sembarangan jelas masuk akal. Meludah, selain di kamar mandi, adalah wajar dan masuk akal untuk dilarang di peradaban modern dewasa ini. Demikian juga dengan dilarang tidur, tentu saja sebaiknya orang tidak tertidur di ruang terbuka.
Tetapi ternyata orang juga dilarang untuk duduk-duduk dan makan minum.
Padahal di tempat ini perancangan ruangnya sudah cukup bagus, berbentuk selasar memanjang yang terdiri dari teras berpeneduh ruko atau rukan dengan perkerasan terbuka. Perkerasan terbuka ini memiliki jarak bebas yang cukup layak terhadap arus lalu lintas, dipisahkan oleh sepotong tangga dan taman tipis serta parkir kendaraan di baliknya. Jarak dinding muka bangunan ke muka bangunan di seberangnya sangat lapang; jarak bebas tadi masih ditambah lagi dengan empat lajur jalan dan taman di tengahnya, serta jarak bebas yang sama lagi pada ruko atau rukan yang menjadi podium untuk apartmen di seberangnya.
Singkatnya, sepotong ruang terbuka memanjang ini berada di kawasan mixed use komersial ruko dan mall, perkantoran, serta residensial. Sesungguhnya ruang ini sangat ideal untuk dijadikan sebagai lokasi nongkrong bagi orang-orang urban yang sangat membutuhkan ruang terbuka untuk nongkrong.
Situasi tersebut membuat larangan "duduk-duduk dan makan minum" menjadi tampak aneh. Orang dilarang untuk nongkrong di sebuah ruang publik yang dirancang untuk dijadikan sebagai tempat untuk nongkrong. Nongkrong di jalan tol, di tengah lapangan bola ketika sedang ada pertandingan, di track balap sepeda, atau makan minum di dalam perpustakaan itu menyalahi peruntukkan dari ruang. Tetapi dilarang nongkrong di ruang untuk menongkrong? Saya akan sebut ini sebagai gejala Nongkrongophobia.
Tetapi Sigmund Freud pernah mengatakan "The paranoid is never entirely mistaken".
Kita akan lebih mengerti manakala kita mengerti konteks dan melihat latar yang lebih luas dari setiap hal, bahkan suatu kesalahan atau kekonyolan sekalipun. Dalam konteks gejala Nongkrongophobia di atas, ternyata ruang publik yang dimaksud bukanlah benar-benar ruang publik. Ia adalah ruang privat yang dirancang menyerupai ruang publik. Selasar ruko atau rukan adalah ruang privat milik empunya ruko atau rukan dan ruang terbuka di depannya adalah ruang privat milik pengembang. Sejauh-jauhnya yang masih dimiliki publik, artinya dimiliki negara, kalaupun memang ada, adalah jalanan dan taman di tengahnya.
Dengan pengetahuan ini sekarang kita mengerti bahwa permasalahannya lebih luas dari yang awalnya kita lihat. Permasalahan Nongkrongophobia ini pada dasarnya adalah permasalahan klasik dari kurangnya ruang publik yang tersedia dan permasalahan setengah hatinya subjek privat menghadirkan ruang publik serta kontradiksi internalnya.
Kurangnya ruang publik yang layak di sebuah wilayah urban menciptakan peluang sekaligus kesusahan bagi subjek privat yang mampu menyediakannya. Muncul dan menjamurnya mall di Jakarta tidak lepas dari kurangnya ruang publik yang dapat digunakan oleh warganya untuk relaksasi, beristirahat tetapi tidak tidur, makan di ruang terbuka, bertemu dengan keluarga, relasi, dan kawan; Nongkrong.
Peluang tersebut telah ditangkap dengan baik oleh subjek-subjek privat. Permasalahan berikutnya kemudian ada satu saja: Walaupun semakin hari trendnya adalah untuk menyediakan ruang yang semirip mungkin dengan ruang publik yang sejati, mereka tidak boleh menyediakan ruang publik yang terlampau bersifat publik, karena ruang yang mereka ciptakan adalah ruang yang harus menghadirkan keuntungan: profit. Ruang publik yang terlampau publik hanya akan menciptakan beban, untuk kebersihan, untuk keamanan, untuk pemeliharaan; bukan profit.
Bukan salah mereka sepenuhnya, karena (dalam sistem saat ini) jika orientasi profit ini dihapus, maka malahan tidak akan ada apapun yang akan dihasilkan. Karena ternyata subjek privat yang sedang dibicarakan bukanlah satu orang individu melainkan kumpulan dari banyak sekali individu, mulai dari kumpulan subjek-subjek yang "menyalurkan" sumber dayanya hingga kumpulan subjek-subjek yang "mengoperasikan" sumber daya tersebut. Kedua kelompok di atas kemudian tampil di muka umum dalam wujud yang tidak lagi manusiawi, dingin penuh perhitungan dan pertimbangan bernama "korporasi".
Sedikit catatan penutup, kritik terhadap gejala Nongkrongophobia ini harus pula dilengkapi dengan kritik terhadap subjek pelaku dari Nongkrong itu sendiri.
Sebagian besar dari pelaku Nongkrong di kota ini adalah manusia yang masih belum beradab. Dan ini sangat tercermin pada papan larangan yang ditangkap pada foto di atas dalam segala aspeknya sejak yang sangat mendasar.
Pertama; papan larangan tersebut dibuat berukuran jumbo dan diletakkan dengan cara yang sangat intrusif secara fisik, dipasang memalangi jalan setiap jarak sekitar tiga puluh meter. Keberadaannya bukan saja sekadar melarang, melainkan juga sudah mengarah kepada menghalang-halangi. Satu tahap lebih tinggi dari papan larangan tersebut adalah munculnya pot-pot tanaman agar orang tidak dapat duduk, lalu pagar, lalu dinding tinggi, barangkali kemudian kawat berduri khas penjara Alcatraz. Kita menjadi tahu bahwa memang tidak mudah menghalau orang-orang yang tetap berniatan bulat untuk mendudukkan pantatnya di ruang privat yang terlarang tersebut.
Kedua; bahwa buang sampah sembarangan saja masih harus dilarang-larang walaupun telah ada bak sampah di sekitarnya adalah cermin dari perilaku biadab warga kota ini. Sering kali ketika sebuah meja, kursi, atau sepetak lantai selesai digunakan untuk duduk-duduk, maka akan tampaklah sedemikian banyaknya tisue bekas, kertas, bungkus makanan ringan, potongan remah dan makanan yang tak habis, serta abu dan puntung rokok.
Ketiga; bahwa meludah saja masih harus dilarang-larang, itu membuat tiada kata yang perlu disampaikan lagi.
No comments:
Post a Comment