Sepanjang sejarahnya, manusia selalu mengejar tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Manusia bekerjasama, mencipta alat, memperalat hewan, memperbudak sesamanya, menciptakan mesin, dan mengeksploitasi tenaga manusia. Setiap tahapan sejarahnya adalah dorongan revolusioner untuk berproduksi lebih banyak, lebih efisien, lebih cepat, dan lebih sempurna. Setiap generasi menjadi saksi untuk percepatan peningkatan kemampuan produksi yang dipacu oleh satu senjata yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lainnya: Teknologi.
Ketika semut dan tawon masih bekerja dengan pola yang sama sejak milenia yang lalu, manusia telah melakukan berbagai lompatan-lompatan menakjubkan, berjuta-juta lompatan mengagumkan, dan mengubah cara berproduksinya dibandingkan abad atau bahkan dekade yang lampau. Menatap ke depan, umat manusia sedang berada di penghujung satu lagi revolusi.
Automatisasi, Artificial Intelligence, robotik, 3D printing, nano teknologi, self-healing materials, quantum computers, dan berbagai macam lainnya, yang sejatinya adalah teknologi untuk bukan saja menggantikan kerja manusia, melainkan untuk berproduksi secara lebih efisien, lebih cerdas, lebih cepat, lebih kuat, lebih presisi, lebih jauh, lebih kecil, melampaui kemampuan tenaga, mata, dan tangan manusia.
Diperhadapkan dengan masa depan yang akan datang tidak lama lagi ini, orang-orang di sebelah kiri jalan menjadi galau dan orang-orang di sebelah kanan jalan harap-harap cemas menantinya. Kedua pihak yang berseberangan sama-sama berkeringat dingin untuk menyambut masa depan.
Masalahnya, revolusi ini bisa menjadi negasi untuk kritik yang selama ini diajukan oleh orang-orang di sebelah kiri jalan, bahwa Kapitalisme adalah sebuah sistem yang dibangun di atas eksploitasi; membayar pekerja lebih sedikit dibandingkan nilai yang diciptakannya lalu mengambil selisihnya sebagai profit.
Ketika seluruh - atau sebagian besar - manusia telah dibebaskan dari kerja, tidak dibutuhkan lagi, dan dipersilahkan untuk kembali ke rumah masing-masing, sejak pekerjaannya telah sepenuhnya digantikan oleh mesin, maka kritik tersebut tampak akan kehilangan pijakannya dan menjadi tidak relevan lagi. Kali ini yang dieksploitasi adalah robot, adalah sepenuhnya mesin, yang dikendalikan oleh komputer, atau benda-benda mekanis berukuran sangat kecil, yang bahkan tidak perlu lagi dikontrol.
Maka tindakan dan orientasi profiteering Kapital akan mendapatkan justifikasi yang tertinggi. Tidak ada lagi manusia yang dieksploitasi, tidak ada lagi manusia yang diambil nilai lebihnya. Robot-robot tidak mengeluh, tidak meminta kenaikan gaji dan THR, serta tidak membutuhkan hak asasi. Jangankan hanya persoalan nilai lebih, seluruh yang dihasilkan oleh tenaga kerja yang baru dapat diambil, dikuasai, dan dijadikan profit oleh pemiliknya. Sungguh masa yang sangat ditunggu-tunggu oleh sang Kapital.
***
Tetapi ada kemungkinan cerita tidak akan seindah itu.
Pertama; segala yang memiliki nilai adalah hasil kerja. Mesin, elektronika, komputer, AI, robot, dan segala hal hasil perkembangan teknologi, termasuk teknologi itu sendiri, adalah hasil kerja. Dan semua hal tersebut diciptakan, ditemukan, dan dikembangkan oleh orang-orang bayaran - pekerja - menggunakan Kapital - yang tidak lain adalah tumpukkan hasil kerja orang-orang yang telah dari jauh-jauh hari dieksploitasi.
Penggunaan robot dalam produksi sama sekali bukan berarti kemerdekaan produksi dari pekerja manusia dan akhir dari eksploitasi, melainkan sekadar memberi jarak ruang dan waktu yang lebih lebar antara proses produksi - yang menggunakan hasil eksploitasi - dengan orang-orang yang dieksploitasi.
Dasar dari kritik tetap berlaku dan berdiri dengan sempurna: Teknologi dan mesin yang dihasilkannya, yang merupakan hasil kerja manusia, dikuasai dan dimiliki secara pribadi untuk menciptakan profit.
Kedua; jika berfikir sedikit saja lebih panjang, maka orang-orang yang berdiri di sebelah kanan jalan justru akan merasa berkali lipat lebih galau daripada orang-orang di seberangnya. Pasalnya dimulai dari pertanyaan sederhana saja: Jika semua pekerja diberhentikan, maka siapa yang akan mengkonsumsi hasil produksi?
Profit memang dihasilkan pada proses produksi, tetapi realisasinya baru akan terjadi ketika hasil produksi dikonsumsi, dibeli oleh orang. Dalam dunia di mana mayoritas penghuninya adalah kelas pekerja, maka kelas pekerja itu pula yang merupakan konsumen dari hasil produksi. Manakala mayoritas kelas pekerja telah dipulangkan karena digantikan oleh robot, dengan apa mereka akan membeli hasil produksi - yang kini dihasilkan dengan sangat cepat dan efisien itu?
***
Rupanya Kapitalisme masih belum akan terlepas dari kontradiksi internal dengan dirinya sendiri, yang malah semakin menjadi-jadi.
Jika umat manusia di abad ke-19 telah berproduksi dengan kapasitas yang tak pernah terbayangkan sebelumnya dan di hari ini telah ribuan kali lipat lagi melampauinya, maka teknologi baru yang akan hadir tersebut adalah gerbang untuk potensi produksi yang maha megah dan dahsyat. Tetapi semakin potensi tersebut direalisasikan oleh sistem Kapitalisme, semakin sistem tidak mampu mendapatkan profit sebagai darah kehidupannya.
Keunggulan dan kepentingannya saling menegasikan satu sama lain. Potensi kebangkitannya adalah sekaligus juga potensi kematiannya.
Barangkali, justru kita mulai melihat titik didih yang telah diprediksi itu; ketika ketegangan kontradiksi internal tak tertanggungkan lagi, ketika struktur dan sistem yang ada sudah tidak dapat lagi mengakomodasi produktivitas optimum yang dapat dicapai masyarakat manusia, ketika sistem pada akhirnya akan usang dan membusuk.
Bisa jadi, cerita tentang Kapital hari esok yang mulai nampak di horizon masa depan itu adalah babak yang telah dinanti.
10 June 2016
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Popular Nonsensical Matters
-
Coba lihat gambar ini. Ini adalah sebuah gambar yang sangat layak untuk dihiasi dengan komentar berbunga. Bunga-bunga yang indah, yang se...
-
We can't expect high density development in our suburbs because sprawling is an inherent trait of Indonesian new town development. Indon...
-
In The Batavia Series we will use historical maps to explore the spatial developments of Indonesian capital, Jakarta, from its founding ...
-
Have you ever being in a car that passes through a narrow strip of street where people seems to have low sensitivity of the presence of vehi...
-
A mother and a daughter worked tirelessly, day and night, against all weather, against their pain. They stacked stone block one after anothe...
-
The lines on his serene face silently tell, there were many things that the old man had endured in life. His soft smile tells that he foug...
-
I overheard the sky said to the sun, "look at the trees. They seem chaotic but they are very logical. Now look at them, the human anima...
-
Hidden beneath the rocks and behind the thickness of the leaves and roots, the Water Spring asked, "Who am I?" The Earth replied, ...
-
Every single evening of every single day, the old man would sit on the same chair by the window for hours. Every single evening of every sin...
-
This article will be a simple causality exploration of why (some) public spaces in Jakarta are (still) ugly, in this case the river. Common ...
No comments:
Post a Comment