Di Indonesia, khususnya di Jakarta dan wilayah sekitarnya, orang tergila-gila pada kepemilikan privat atas ruang, atau properti privat dalam bentuk tanah.
Meskipun secara historis dan geografis sangat berbeda, ketergila-gilaan tersebut mirip dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat. Perbedaannya, di sana hal tersebut memang dengan sengaja diadakan sejak awal kemerdekaannya dari Inggris. Thomas Jefferson membagi tanah di seantero negara tersebut ke dalam grid-grid yang dapat dibeli dan dimiliki oleh pihak privat, dengan argumentasi bahwa kepemilikan akan tanah akan menjamin demokrasi. Tetapi secara politik-ekonomi, menjual kepemilikan privat atas tanah adalah untuk mengisi kas negara, juga untuk menghidupi perekonomian agraris di masa itu, dan sebagai daya tarik utama bagi para imigran dari benua Eropa, sekaligus sebagai akar dari terbitnya patriotisme.
Perbedaan yang kedua, Indonesia ini adalah sebuah negara yang terdiri dari pulau-pulau yang berukuran kecil jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, terlebih lagi sekadar ibukota Jakarta dan wilayah sekitarnya yang sempit dan sesak. Ketersesakan yang sama pula yang menyebabkan ketergila-gilaan terhadap kepemilikan privat atas tanah tidak dibiarkan terus terjadi di benua Eropa yang sempit sesudah berakhirnya masa monarki dan agraris, bahkan demikian juga di Australia yang cukup lapang.
***
Kombinasi dari kesesakan dan ketergila-gilaan terhadap kepemilikan ruang secara privat menghasilkan berbagai macam permasalahan sosial, relasi yang tidak baik antar berbagai komponen masyarakat, di kawasan urban dan di kawasan rural, dan antara kawasan urban dengan kawasan rural.
1. Urban
Di kawasan urban, kepemilikan privat atas ruang terjadi secara brutal, mempersempit ruang yang dimiliki publik yang seharusnya dapat digunakan secara komunal untuk kepentingan publik. Bahkan ruang tipis milik publik yang pada dasarnya sangat fungsional dan jauh dari kemewahan - jalur pedestrian kota - terhimpit dan tidak jarang menghilang sama sekali di antara ruang yang dimiliki secara privat, jalan tol yang juga dimiliki secara privat, dan jalan aspal bagi kendaraan bermotor yang mana adalah kotak-kotak besi milik privat.
Karena nilai ekonomis yang tinggi dari ruang perkotaan, maka kepemilikan privat atas ruang perkotaan selalu diikuti dengan komersialisasi yang massif terhadap ruang perkotaan, menggerus fungsi sosial dari ruang. Dan berbeda dengan negara, yang - idealnya - tidak boleh membeda-bedakan warganya berdasar kelas ekonomi, entitas ekonomi privat memiliki kebebasan untuk melakukan hal tersebut. Maka tepat ketika telah dimiliki secara privat dan bersifat komersial, pengkelas-kelasan terhadap ruang pun dimulai, lalu menjalar dan menular, menjangkiti seisi kota, memberi corak stratifikasi kelas sosial yang kental dalam perkembangannya, yang kemudian bahkan diamini pula oleh negara.
Ruang hidup dan beraktivitas khusus bagi kelas atas, sarana rekreasi bibir pantai yang hanya dapat dinikmati dengan biaya tertentu, tata ruang perkotaan yang sangat tidak ramah pejalan kaki, pembangunan infrastruktur mobilitas yang sangat melayani pengguna mobil pribadi, fasilitas sosial yang ditujukan khusus untuk kelas tertentu, memerdekakan permasalahan fasilitas mendasar perkotaan kepada seliar-liarnya mekanisme pasar, dan lain-lain.
Kontradiksi antar kelas-kelas ruang perkotaan menghadirkan ketegangan, menimbulkan ruang-ruang privat yang eksklusif, tertutup, penuh dengan penolakan, dan paranoid; atau ruang privat yang dibuat terkesan seperti ruang publik tetapi alergi terhadap publik luas; atau sebaliknya, ruang yang sebenarnya milik publik yang kemudian dipinjamkan, disewakan, atau dikuasai untuk kepentingan komersial privat - tanpa konsultasi yang memadai dengan publik luas sebagai pemilik yang sesungguhnya dari ruang tersebut.
Kepemilikan privat atas ruang perkotaan tidak selalu menghadirkan fungsi komersial produktif secara langsung. Tidak jarang kepemilikan atas ruang merupakan investasi jangka panjang, atau karena sedemikian tingginya harga pembelian ruang tersebut sehingga dibutuhkan waktu sebelum dapat benar-benar digunakan untuk tujuan komersial yang sesungguhnya. Muncullah kemudian konflik antara mereka yang secara legal memiliki ruang tersebut dengan mereka yang benar-benar membutuhkan ruang untuk memenuhi keperluan-keperluan paling dasar dalam hidup, seperti sebagai tempat tinggal dan sumber pendapatan ekonomi, yang hampir selalu berujung pada penggusuran paksa terhadap orang-orang yang dianggap telah berusaha untuk bertahan hidup dengan cara yang ilegal.
Tetapi bukan hanya mereka yang berada di lapisan kelas paling bawah saja yang tergusur dari ruang perkotaan. Generasi demi generasi yang baru dari kelas menengah, meskipun telah bersekolah dan bekerja di daerah urban, karena harga ruang perkotaan yang melambung tinggi, semakin sulit pula untuk dapat bertempat tinggal di dalamnya. Mereka pun tergusur dan mengungsi ke pinggiran kota, menyuburkan kawasan suburban.
2. Rural
Di kawasan rural, menjamurnya pengembangan suburban mendesak kawasan rural dengan sangat agresif. Banyak dari kawasan rural tersebut awalnya adalah tanah produktif berupa sawah, ladang, perkebunan, tambak, dan hutan; yang ketika kemudian menyempit dan menghilang karena berubah menjadi sarana tempat tinggal bagi kelas menengah dan sarana investasi bagi kelas menengah ke atas, berarti hilangnya sumber perekonomian warga rural.
Berubahnya tanah rural menjadi suburban juga berarti naiknya harga tanah di kawasan tersebut secara drastis, yang tidak serta merta menguntungkan mayoritas warga rural yang hanya memiliki bidang tanah kecil. Terlebih jika mempertimbangkan bahwa kenaikkan harga tanah tersebut terutama terjadi setelah pembelian dan pengembangan tanah di kawasan rural berubah menjadi suburban, bukan sebelumnya, sehingga bukanlah warga asli kawasan rural yang menikmati kenaikkan harga tanah tersebut, melainkan pengembang dan para investornya. Bagi mayoritas warga rural, hal tersebut hanya berarti satu hal: setiap generasi yang baru akan semakin sulit untuk memiliki tempat tinggalnya sendiri. Bahkan semakin mahal pula bagi kelas menengah urban yang mengungsi ke wilayah suburban, membuat ruang-ruang privat suburban semakin lama semakin menjadi semata-mata alat investasi daripada ruang yang bernilai guna nyata.
Setelah ruang sumber perekonomian dan tempat hidupnya terdesak dan digerogoti secara vulgar; tanpa fasilitas sosial, pendidikan, kesehatan, dan jaminan pekerjaan, akan sangat sulit bagi warga rural untuk dapat mempertahankan perikehidupan yang layak. Pada akhirnya mereka akan semakin miskin atau berada dalam stagnasi dari generasi ke generasi, atau pergi menantang zaman ke kawasan urban, yang mana jarang pula membuat mereka - atau keturunan mereka - berhasil menaikki tangga kelas sosial untuk hidup dengan lebih layak.
3. Urban versus Rural
Pengembangan kawasan suburban yang menggerogoti kawasan rural pada dasarnya dilakukan oleh entitas ekonomi dan modal yang berasal dari kota. Lalu dimiliki oleh orang-orang, investor, dan entitas ekonomi lainnya, yang berasal dari kawasan kota pula.
Bahkan banyak sekali tanah-tanah produktif kawasan rural yang sejak awalnya memang telah dimiliki oleh kekuatan ekonomi dari luar kawasan rural, dalam skema klasik absentee landlords masyarakat agraris di mana penduduk lokal hanyalah petani pekerja, petani kontrak, atau petani sewa - peasants - tanpa hak kepemilikan atas tanah yang dikerjakannya.
Hal tersebut akan sangat mudah untuk terlihat sebagai eksploitasi kawasan urban terhadap kawasan rural, menimbulkan wacana desa melawan kota, ketika yang sebenarnya menjadi permasalahan - baik di desa maupun di kota - adalah kepemilikan privat atas ruang. Perkara ruang urban, suburban, dan rural; perkara ruang privat dengan ruang publik, dengan relasinya, pengkelas-kelasannya, kontradiksinya, penggusuran, penggerogotan, dan eksploitasinya; adalah masih sangat berkaitan dengan sistem politik-ekonomi yang berlaku.
Dan relasi yang buruk akan terus semakin berkontradiksi hingga jika dapat didamaikan setidaknya dengan pengelolaan ruang yang lebih adil dan rasional bagi masyarakat luas.
***
Dampaknya terhadap perencanaan dan perancangan perkotaan; ruang urban, suburban, dan rural harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat lagi dipisah-pisahkan. Ketiganya berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Apa yang dibuat di suatu tempat akan berdampak di tempat yang lainnya, kebaikan tidak dapat dinilai sepenuhnya secara lokal dan permasalahan dilihat dalam kaitannya dengan lingkungan yang lebih luas.
Dan selama perubahan besar dan drastis yang menghilangkan berbagai kontradiksi belum lagi terjadi, para perencana dan perancang perkotaan juga memiliki tugas tambahan untuk sedapat-dapatnya berusaha untuk mendamaikan fungsi publik dan fungsi personal dari ruang perkotaan. Mereka harus berusaha untuk menyelaraskan nafsu menggebu ruang komersial dengan keseluruhan sistem perkotaan, mengendalikan gelagat buas kepemilikan ruang privat agar tidak melukai kepentingan publik, dan memaksa ruang privat untuk menjadi komponen yang memperkaya ruang publik.
06 May 2017
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Popular Nonsensical Matters
-
Coba lihat gambar ini. Ini adalah sebuah gambar yang sangat layak untuk dihiasi dengan komentar berbunga. Bunga-bunga yang indah, yang se...
-
We can't expect high density development in our suburbs because sprawling is an inherent trait of Indonesian new town development. Indon...
-
In The Batavia Series we will use historical maps to explore the spatial developments of Indonesian capital, Jakarta, from its founding ...
-
Have you ever being in a car that passes through a narrow strip of street where people seems to have low sensitivity of the presence of vehi...
-
A mother and a daughter worked tirelessly, day and night, against all weather, against their pain. They stacked stone block one after anothe...
-
The lines on his serene face silently tell, there were many things that the old man had endured in life. His soft smile tells that he foug...
-
I overheard the sky said to the sun, "look at the trees. They seem chaotic but they are very logical. Now look at them, the human anima...
-
Hidden beneath the rocks and behind the thickness of the leaves and roots, the Water Spring asked, "Who am I?" The Earth replied, ...
-
Every single evening of every single day, the old man would sit on the same chair by the window for hours. Every single evening of every sin...
-
This article will be a simple causality exploration of why (some) public spaces in Jakarta are (still) ugly, in this case the river. Common ...
No comments:
Post a Comment