Sudah jamak diketahui bahwa lingkungan terbangun dan infrastruktur adalah salah satu sarana untuk melakukan eksploitasi dan ekstraksi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia. Tetapi bagaimana dengan Sumber Daya Ruang? Dan bagaimana dengan peran kota dalam kegiatan ekstraksi dan eksploitasi tersebut? Diskusi ini bertujuan untuk mengeksplorasinya secara singkat.
Catatan: Cukup disadari bahwa dalam banyak hal tulisan di ini tidak cukup tajam, tidak cukup dalam, dan di beberapa tempat tidak betul-betul yakin juga dengan apa yang dituliskan. Tetapi sekalipun demikian tetap dituliskan juga, dengan sedikit compang-camping dan menyimpang dari bahasan inti, karena memang ditujukan sebagai suatu studi, suatu pemantik untuk diskusi atau pemikiran lebih jauh lagi.
1. Sumber Daya Alam
Ekstraksi Sumber Daya Alam selalu membutuhkan lingkungan terbangun dan infrastruktur. Mulai dari persawahan hingga pengeboran minyak, dari perkebunan hingga pertambangan logam, dari peternakan hingga pengerukan pasir.
Lingkungan terbangun dan infrastruktur tersebut dapat dianggap sebagai sebuah jaringan mesin, sering kali maha-besar, dan termasuk ke dalam salah satu komponen yang menentukan nilai dari hasil ekstraksinya. Semakin besar nilai lingkungan terbangun dan infrastruktur yang dibutuhkan untuk mengekstraksi suatu Sumber Daya maka semakin besar pula nilai produk yang dihasilkan. Dan sebaliknya, semakin besar potensi nilai produk yang dihasilkan, misalnya dicari oleh sebagian besar populasi dan diberi nilai tinggi, (biasanya) semakin besar pula nilai lingkungan terbangun dan infrastruktur yang rela dikeluarkan untuk proses ekstraksinya.
Bentuk lingkungan terbangun dan infrastruktur yang berorientasi pada ekstraksi Sumber Daya Alam paling mudah terlihat di daerah-daerah yang justru kaya akan Sumber Daya Alam, yaitu daerah pertambangan, pertanian, perkebunan, atau peternakan.
Dapat juga terlihat dengan mudah, dan dalam skala yang sangat masif, dalam suatu teritori kolonial yang berorientasi ekstraksi Sumber Daya Alam. Contohnya adalah di Nusantara pada masa kolonialisme, terutama pada masa-masa awalnya. Jalan-jalan dibangun, saluran irigasi, pintu air, bendungan, pos keamanan, pos pertahanan, benteng, barak pekerja, jalur kereta api, stasiun, pelabuhan, gudang-gudang, semua dibangun dalam rangka ekstraksi Sumber Daya Alam.
Untuk alasan distribusi dan logistik, infrastruktur-infrastruktur tersebut kemudian membentuk jejaring dengan simpul-simpul pertemuan. Atau seringkali lebih menyerupai percabangan akar pohon atau sungai yang bermuara ke satu atau beberapa titik akhir.
Kemudian, selain membutuhkan infrastruktur, tentu saja kegiatan ekstraksi Sumber Daya Alam tersebut juga membutuhkan manusia. Di sanalah kota-kota muncul, di lokasi ekstraksi, maupun di simpul-simpul pertemuan jejaring, dan terutama di titik muara jalur logistik.
Di lokasi ekstraksi, kota sebagai ruang hidup manusia pada umumnya (dan pada awalnya) hanya sebagai pelengkap, menjadi faktor pendukung, sesederhana tempat merumahkan para pekerja, dengan populasi dan program yang hampir homogen, direncanakan dan dibangun secara mekanistik, berorientasi pada apa yang didukung dan dilengkapinya, minim fasilitas, dan kering tanpa imajinasi.
Semakin rendah nilai tenaga kerja yang dibutuhkan, terlebih lagi di dalam suatu sistem kolonial atau perbudakan, di mana nilai Sumber Daya Manusia sangat rendah dibandingkan dengan Sumber Daya Alam, dan semakin homogen populasi dan programnya, semakin "seadanya" kota yang dihasilkan, hingga yang terendah adalah kumpulan barak-barak tempat menampung para pekerja untuk beristirahat, yang mungkin bahkan belum bisa dikategorikan sebagai "kota".
Calico Mining Town, California |
Di titik muara logistik atau di simpul-simpul, walau pun dimulai dari bentuk dasarnya yang pada umumnya adalah pelabuhan, biasanya kemudian kota hadir dengan lebih meriah. Adalah logis jika kantor-kantor baik pusat, representatif, maupun kantor-kantor pendukungnya dibangun di simpul-simpul atau di titik muara, terlebih lagi di dalam suatu sistem kolonial, di mana kedekatan dengan pelabuhan sebagai titik perhubungan dengan negara induk sangatlah penting. Pos, barak tentara, atau benteng pun dibangun di titik-titik ini untuk alasan yang sama. Lalu muncul juga perdagangan, baik barang maupun jasa, perumahan untuk berbagai kelas, dengan fasilitas-fasilitas yang lebih baik untuk kelas yang lebih tinggi, dan juga kantor pemerintahan.
Batavia, Dutch East Indies |
Dari yang hanya berupa kumpulan barak hingga yang berupa sebuah kota yang lengkap, sebagian kota tercipta sebagai instrumen untuk ekstraksi Sumber Daya Alam atau pendukungnya, baik secara langsung maupun tak langsung.
2. Sumber Daya Manusia
Ekstraksi Sumber Daya Alam membutuhkan tenaga manusia, sehingga dalam prosesnya terjadi juga eksploitasi terhadap Sumber Daya Manusia. Sekalipun proses ekstraksi tersebut dilakukan oleh mesin, mesin itu pun adalah hasil kerja manusia dan dibangun atas sumber daya yang pada suatu titik diekstraksi oleh tangan manusia.
Maka demikianlah, sifat dari kota-kota yang diceritakan pada bagian sebelumnya, sekalipun tujuan keberadaannya adalah untuk mengekstraksi Sumber Daya Alam, tetapi ia ada untuk menampung manusia yang melakukan proses ekstraksi tersebut, dengan berbagai kegiatan sampingannya. Dari hulu sampai ke hilir adalah tentang eksploitasi Sumber Daya Manusia.
Tetapi hubungan kota dengan eksploitasi terhadap Sumber Daya Manusia tidak berhenti sampai di situ. Manusia tidak mengkonsumsi atau mempergunakan hasil ekstraksi Sumber Daya Alam secara mentah-mentah, melainkan selalu diikuti dengan pengolahan maupun manufaktur, yang berlapis-lapis, saling terhubung, saling menunjang satu sama lain: Industri.
Melalui eksploitasi tenaga kerja manusia, industri membawa kekuatan produksi maha besar bagi umat manusia. Dari sekadar pengumpul apa pun yang dihasilkan oleh alam, lalu mengumpulkannya secara metodikal pada masa agrikultur, lalu memodifikasinya untuk menjadi berbagai macam produk; melalui industri manusia melakukan kesemuanya tidak lagi hanya menggunakan tangannya melainkan juga mesin.
Tetapi selain mesin, industri membutuhkan kedekatan dengan pusat populasi yang besar sebagai pekerja maupun pasar untuk menjual produk-produknya. Ia juga membutuhkan kedekatan dengan jaringan pasokan bahan baku dan jalur distribusi. Dan di masa awalnya, industri juga membutuhkan kedekatan dengan sumber- sumber energi penggerak seperti misalnya aliran sungai, yang sekaligus menyediakan sumber air dan sarana pembuangan limbah.
Industri-industri awal dibangun atas prakarsa dan visi individual, tidak terorganisir, tidak terencana secara makro, dan mungkin tidak ada yang mengira akan sampai sehebat dan mencapai skala saat ini, sehingga penempatannya pun sesuai dengan di mana individual-individual tersebut memiliki kesempatan untuk membangunnya, di ruang-ruang yang tersedia dengan kriteria di atas, artinya berserakan di kota-kota besar yang telah berdiri. Demikianlah sebagian kota-kota besar di masa lalu terdorong menjadi kota industri akibat kemunculan industri-industri di dalamnya.
Dalam waktu yang singkat industri mengalami peningkatan skala yang dramatis bahkan eksplosif, dan industri mendorong perekonomian perkotaan dengan hebat, meningkatkan nilai ruang-ruang perkotaan akibat meningkatnya populasi dan aktivitas perdagangan. Di saat yang bersamaan, industri membutuhkan lahan dan pekerja yang jauh lebih banyak, juga kedekatan satu sama lain untuk efisiensi, serta munculnya energi minyak yang membebaskan industri dari ketergantungannya terhadap sungai. Hubungan antara industri dengan kota lalu mencapai suatu titik di mana akan lebih murah dan lebih efisien bagi keseluruhan masyarakat jika industri bergeser ke pinggiran kota: segregasi kota dan industri.
Ketika industri manufaktur, pengepakan, dan energi menyingkir ke pinggiran kota, sebagian dari perkantoran dan bisnis di kota adalah bagian, perpanjangan, atau perwakilan dari industri-industri yang menyingkir tersebut, dan kota adalah juga tempat realisasi profit melalui perdagangan yang dilakukan mulai dari antar industri hingga kepada konsumen akhir. Selebihnya adalah industri jasa, keuangan, teknologi, kesehatan, hiburan, dan lain-lain.
Yang terjadi adalah sekadar segregasi tipe industri. Antara industri yang lebih banyak mengandalkan tenaga fisik dengan industri yang lebih banyak menggunakan tenaga pikiran dan keahlian. Tetapi pada hakekatnya keduanya adalah tetap bentuk eksploitasi terhadap tenaga kerja manusia untuk menciptakan nilai lebih.
Ruang-ruang industri perkotaan yang dimiliki secara privat adalah tetap instrumen eksploitasi tenaga manusia. Tetapi suatu kota terbentuk melampaui sekadar hal tersebut, ruang-ruang industri berpadu dengan ruang-ruang privat yang lain, berpadu dengan ruang-ruang yang dimiliki bersama, dan terikat oleh suatu jejaring, menjadi suatu kesatuan yang utuh.
Mempertimbangkan bahwa sejatinya nilai hanya dapat tercipta melalui kerja manusia, termasuk lingkungan terbangun, dan bahwa sejarah manusia adalah salah satunya usaha tanpa henti untuk meningkatkan produktivitas, serta bahwa selain sebagai kumpulan individual dan entitas, kota juga bekerja sebagai suatu kesatuan ekonomi, fisik, dan bahkan metabolisme yang (idealnya) terorganisasi dan terkoordinasi; maka kota secara keseluruhan yang utuh - seperti sebuah mesin, seperti suatu pabrik - adalah bukan hanya ruang eksploitasi, tetapi juga merupakan hasil sekaligus instrumen eksploitasi Sumber Daya Manusia.
3. Sumber Daya Ruang
Kota sebagai ruang, hasil, sekaligus instrumen eksploitasi tenaga manusia tidaklah stagnan melainkan ber-evolusi dan berkembang di sepanjang kehidupannya. Perkembangan tersebut dapat dipicu oleh desakan dan dorongan untuk perubahan karena kebutuhan individu-individu yang mendiami kota tersebut atau penciptaan dan kapitalisasi ruang perkotaan untuk keuntungan entitas individu maupun bisnis.
Keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan saling berkelindan satu dengan lainnya. Pembangunan jalan-jalan, ruang publik, perumahan sosial, perumahan komersial, transportasi massal, sarana umum, sentra bisnis, dan lain-lain adalah manifestasi dari kedua faktor di atas; yang pada akhirnya merupakan ekspresi kebutuhan akan efisiensi dan produktivitas yang lebih tinggi kota tersebut sebagai suatu kesatuan.
Semakin baik lingkungannya, semakin baik pula kinerja manusia yang beraktivitas di dalamnya. Maka semakin tinggi kinerja yang diharapkan, semakin dibuat baik pula lingkungannya. Dan semakin baik lingkungannya, semakin tinggi nilai ruang di dalamnya. Demikian pula dengan pengaruh yang dibawa oleh infrastruktur, sarana umum, komersial, perumahan, dan yang lain-lainnya.
Salah satu konsekuensi logisnya, transformasi ruang-ruang perkotaan menjadi komoditas. Entitas-entitas bisnis berpindah, mengambil tempat seoptimal mungkin, semakin tinggi hasil kinerja yang dihasilkan, maka semakin mampu dan berani entitas tersebut menempatkan diri di lokasi dengan lingkungan yang baik (yang memiliki nilai lebih tinggi). Maka entitas-entitas akan terkumpul satu sama lain sesuai dengan tingkatannya masing-masing secara alami. Dan semakin banyak entitas-entitas dengan kinerja tinggi terkumpul di suatu tempat, maka semakin dibuat baik pula lingkungan tempatnya berada, menciptakan ruang-ruang kota yang tersegmentasi dan tak setara.
Jika ruang-ruang perkotaan adalah komoditas, maka jejaring yang membentuknya adalah suatu instrumen maha besar yang berfungsi untuk mengeksploitasi Sumber Daya Ruang tersebut, yang lebih lazim disebut Properti.
Komodifikasi tersebut terjadi dalam tingkatan yang berbeda-beda; mulai dari individu yang sekadar mengambil keuntungan dari kepemilikan atas suatu ruang yang terselip di antara jejaring perkotaan, hingga korporasi yang bahkan membentuk sendiri hampir seluruh jejaringnya.
No comments:
Post a Comment